Jelajah Alam Komunitas (JEJAK): 1


Kebun Desa: Manfaat atau Mudarat…?

Oleh Erwin S Basrin

Juni 9 2008, agenda yang sudah direncankan dengan Team Riset AKAR Foundation adalah melakukan diskusi-diskusi dan kunjungan lapangan di Kabupaten Mukomuko untuk melihat lebih jauh dampak dan manfaat perkebunan sawit terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat baik masyarakat sekitar maupun masyarakat yang menjadi buruh di beberapa perkebunan swasta. Dalam perlajalan Bengkulu-Mukomuko ada banyak hal yang mengelitik ketika melihat penomena di sepanjang jalan ‘sepertinya negara ini numpang buat jalan di dalam perkebunan, dan bisa saja kita tak akan sampai di Mukomuko jika pihak perkebunan melarang kita lewat’ celoteh Hadiyanto (Deputi Direktur) AKAR Foundation, yang juga ikut dalam perjalanan ini melihat banyaknya perkebunan sawit di sisi kiri kanan jalan.

Jika dilihat peta wilayah Administratif Kabupaten Mukomuko, hampir mencapai 60% dari luas wilayah tersebut adalah wilayah yang oleh Pemerintah ‘digadai’ dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) kepada pihak swasta umumnya diperuntukan untuk perkebunan Besar Sawit dan Karet, data dari Perkebunan Propinsi Bengkulu pada tahun 2007 saja penerimaan dari perkebunan skala besar ini mencapai Rp. 1.033.685.900.000, jumlah ini merupakan penerimaan atas pajak dan beberapa distribusi, bayangkan berapa jumlah yang diterima oleh masing-masing perkebunan besar tersebut.?

Di Kabupaten Mukomuko PT Agro Muko adalah perusahaan perkebunan yang paling besar dan hampir tersebar di masing-masing kecamatan di lingkup Kabupaten Mukomuko, Desa kami telah dikepung oleh Perkebunan Sawit, Jelas Asra (28 th) Sekdes Desa air Berau, ‘coba bayangkan di Utara Desa kami ada perkebunan PT DDP, Barat Agrisinal, Utara PT Agro Muko dan Selatan DDP’, sebagain besar warga Desa Air Berau ini adalah buruh perkebunan, dan sebagain besar mencoba ‘mencaplok’ wilayah yang berada di dalam kawasan perkebunan dan ada yang nekat membuka lahan HPT Air Ipuh 1 demi mempertahankan hidup, ditambah Pak Asra yang juga sehari-hari sebagai uztad ini.

Di Desa Air Berau terdapat juga Perkebunan Desa yang dikelola oleh masyarakat desa bersangkutan tentunya dengan pembagian masing-masing 50% untuk masyarakar, 40% biaya perawatan dan pemeliharaan kebun dan 10 % untuk Perusahaan. Sejauh ini belum ada manfaat secara langsung atas kehadiran perkebunan besar tersebut kepada masyarakat yang berada di sekitar perkebunan, dan ini membantah argumen klasik yang sering digunakan oleh pemerintah bahwa investor akan membawa manfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Penulis menjadi ingat apa yang dikatakan oleh Wakil Kepala BAPEDA Propinsi Bengkulu di suatu kegiatan, dia menyatakan bahwa perkebunan sawit tidak bagus untuk jangka panjang jika berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, tapi anehnya ada program 1 juta pohon sawit Gubernur Bengkulu dan banyak keanehan lainnya yang membuka peluang bagi kapital mengimplementasi ideologinya meskipun terjadi banyak pelangaran seperti deforestasi lingkungan, pelangaran HAM dan perampasan hak atas tanah masyarakat tentunya dengan dalil percepatan pembangunan.

Sementara hasil diskusi dengan beberapa perengkat Desa yang dimana desanya dibangun juga Kebun Desa, cerita menarik juga hasil diskusi dengan pengelola Kebun Desa di Sungai Ipuh Selagan Raya (11-Juli 2008) bahwa telah terjadi kebohongan model kapital terhadap masyarakat, bayangkan di Desa ini terdapat Kebun Sawit Desa yang biasanya di kenal dengan Kebun Kas Desa seluas 15 Ha, dari hitungan pihak Investor PT Agro Muko, ongkos tanam sampai produksi menghabiskan dana sebesar Rp. 150 juta/ha, artinya untuk 15 Ha maka akan menghabiskan dana sebesar Rp. 2.250.000.000. Seluruh ongkos ini akan dibebankan menjadi utang masyarakat ke pada pihak investor yang proses pembayarannya dicicil sebanyak 15% dari hasil tiap-tiap penen.

Jika dilihat lebih jauh, terutama pada managemen yang disepakati bahwa semua kebutuhan yang dibutuhkan dalam pembangunan perkebunan tersebut akan di fasilitasi dan dikerjakan oleh pihak ke 3 atau Investor, masyarakat yang dalah hal ini adalah pemilik sah kebun melalui panitian desa hanya bertindak pada proses assistensi kebutuhan yang akan dikeluarkan, menariknya juga bahwa sertivikat milik atas tanah desa ini di pegang oleh pihak ke 3, kesan rekayasa dengan sistem pinjaman, pinjaman ini adalah bahasa halus dari Utang.

Dari menagemen tersebut dengan angsuran 15 % maka sampai batas produksi masyarakat belum akan mampu untuk melunasi pinjaman tersebut, artinya apakah ini kemudian adalah strategi bagi agen kapital dalam menjerat masyarakat sehingga akan terjadi pengalihan hak milik atas tanah atau malah ini aoakan menjadi beban yang nantinya akan di bayar dengan tanah yang lain.?

Jika dilihat motif yang dikembangkan saat ini ketika masyarakat mulai sadar bahwa sistem pekebunanan besar tidak banyak membantu dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, benar apa yang dikatan Kepala Desa Talang Buai ketika di temui di Kediamannya yang hancur akibat gempa, menyatakan bahwa sampai saat ini yang diterima oleh masyarakat atas perkebunan besar adalah kesengsaraan, dia mencontohkan di Desa Tetangganya Desa Lubuk Saung, untuk menjadi kuli atau buruh harianpun masyarakat susah pada hal dulunya di sana adalah tanah mereka yang dijual secara paksa. Masyarakat saya relatif aman, sambung Pak Kades karena kami tidak mau menjual tanah kami ke pihak perkebunan, kita sadar bahwa kebutuahn akan tanah di masa mendatang semakin tinggi. Komitmen yang menarik juga di sampaikan oleh Sekretaris Desa Sungai Ipuh (11-Juli-2008) kepada team Akan di Sekretariat Genesis Sungai Ipuh, jangan sekali-kali memberi peluang kepada pihak perkebunan untuk menancapkan kukunya di wilayah kita, ungkap Pak Sekdes karena sekali mereka menancapkan kukunya maka kecenderungan mereka akan seperti Belanda mintak tanah, masyarakat akan dibujuk untuk menjual dan melimpahkan tanah mereka ke pihak perkebunan tentunya dengan mengunakan berbagai trik dan tipu musihat, lanjut beliau.

Jelajah Alam Komunitas (JEJAK): 2


 

Sungai Ipuh, AKAR 2008

Catatan Perjalanan di Sungai Ipuh, Mukomuko

Oleh Erwin S Basrin

Perjalanan yang panjang dan melelahkan dari Kota Bengkulu akhirnya kami sampai di Desa Sungai Ipuh, memasuki Desa ini, di kiri kanan jalan di pagari tumbuhan sawit yang sebagian besar adalah milik Perkebunan Swasta PT Agro Muko, tetapi ada sebagaian kecil masyarakat yang juga memiliki kebun sawit. Sebelum Sampai di Desa Sungai Ipuh kita akan lewat jembatan gantung yang melintasi Sungai Selagan Jelas Berlian. Ada nuansa damai ketika kami memasuki Desa ini, keramahan penduduk dan tidak ada kecurigaan terhadap para pendatang, kami relatif Baca lebih lanjut

Aliansi Buruh Lingkungan


Aliansi kaum proletar dengan gerakan lingkungan hidup/konservasi alam untuk menyelamatkan manusia dan bumi (Tjuan).
Almarhum Judi Bari adalah salah satu aktivis “Earth First” yang merupakan sebuah organisasi konservasi alam yang sangat radikal. Judi adalah termasuk orang yang pertama-tama menjembatani komunikasi antara aktivis gerakan lingkungan hidup dan buruh perhutanan. Sewaktu Judi dan Earth First pertama-tama berkampanye untuk menghentikan penebangan hutan di California Utara, dia dan aktivis-aktivis lainnya dimusuhi oleh para pekerja perhutanan yang bekerja untuk sebuah perusahaan perkayuan raksasa. Dia dengan berhasil mendidik pekerja hutan di Amerika Utara mengenai pentingnya perlindungan hutan sebagai jaminan pekerjaan bagi mereka di masa depan dan lebih penting lagi sebagai penopang kehidupan umat manusia. Judi juga menjelaskan kepada pekerja-pekerja hutan tersebut tentang bagaimana pelecehan kaum proletar dan pengrusakan bumi berjalan seiring dalam sistem kapitalisme. Dengan kampanye konservasinya, Judi juga ikut berkampanye dengan pekerja hutan
menuntut perbaikan kondisi kerja mereka. Dengan kehebatannya berkomunikasi, Judi mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan ideologi para pekerja perhutanan tersebut. Karena pengaruhnya, Judi dianggap berbahaya oleh perusahaan-perusaha

an perhutanan besar. Dia hampir saja meninggal ketika bom yang ditanam di dalam mobilnya meledak. Percobaan pembunuhan terhadap Judi dicuragai dilakukan oleh agen-agen FBI dan banyak bukti yang mendukung kecurigaan tersebut (ini adalah karena Judi merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar dan bagi kapitalisme). Perjuangan gigih Judi untuk menyelamatkan bumi dan memperbaiki kondisi kerja buruh berakhir ketika kanker payudara yang dideritanya selama bertahun-tahun merengut nyawanya.

Secara umum banyak kaum buruh yang anti aktivis gerakan lingkungan hidup. Alasannya simpel: konservasi alam tidak sejalan dengan pembukaan lapangan pekerjaan, kepentingan konservasi alam dapat melenyapkan/mengurangi pekerjaan. Tentu saja kalau dilihat secara sepintas, alasan demikian cukup masuk akal. Contohnya, usaha perhutanan; kalau ada aktivis konservasi alam yang melarang penebangan hutan atau ingin menguramgi luas hutan yang boleh ditebang, banyak/sebagian pekerja hutan akan kehilangan pekerjaan. Apalagi, bos-bos pemotong kayu itu akan menghasut para pekerja dengan alasan yang sama (dan menyuruh pemotong kayu untuk memusuhi aktivis lingkungan hidup).

Peneliti-peneliti di Amerika telah membuktikan bahwa peningkatan jumlah produksi dari perhutanan tidak diringi peningkatan jumlah pekerjaan yang terbuka di sektor itu, malahan ada penurunan jumlah pekerjaan dalam perhutanan. Pengusaha hutan kaum kapitalis telah membuat usahanya lebih menguntungkan dengan pemakaian pekerja dalam jumlah yang kecil -memakai mesin-mesin untuk melakukan pekerjaan dan memperburuk kondisi kerja bagi pekerja-pekerja yang masih dipakai (contohnya dengan menambah jam kerja, merubah struktur upah, melalaikan kewajiban dalam pencegahan kecelakaan dalam kerja). Ini membuktikan bahwa jumlah hutan yang ditebang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jumlah pekerjaan yang ada. Jumlah pekerjaan yang ada bukanlah kesimpulan matematik semata-mata tetapi dipengaruhi oleh ide-ide kaum kapitalis untuk meningkatkan keuntungan mereka.

Kekayaan alam, contohnya pohon di hutan, merupakan modal yang harus dipelihara dan tidak boleh dipotong tanpa diskriminasi. Kalau hutan (modal) digundulkan tanpa perhitungan, cepat atau lambat modal itu akan lenyap. Modal haruslah dikembangkan bukan dihabiskan. Kalau modal itu habis (Pohon di hutan habis dipotong), maka usaha akan bangkrut, yang artinya para buruh hutan itu akan menganggur.

Tetapi apa yang diperbuat oleh perusahaan perhutanan raksasa adalah memperlakukan hutan (modal) sebagai laba. Perusahan ini tidak berkepentingan untuk memelihara hutan itu supaya bisa terus produktif. Kalau mereka sudah menggunduli total sebuah hutan dan mengeruk keuntungan, mereka akan angkat kaki dan mencari hutan baru untuk digundulakn lagi. Dengan sistem perhutanan yang non diskriminasi, seperti yang dipraktekan oleh perusahaan perhutanan raksasa transnasional, buruh cepat atau lambat akan kehilangan pekerjaan. Bukan saja mereka akan kehilangan pekerjaan, karena modal sudah habis (hutan sudah lenyap), kesempatan bagi mereka untuk bekerja di masa depan juga menjadi sangat kecil.

Di beberapa negara, contohnya di Australia dan Amerika, peneliti telah membuktikan bahwa perhutanan skala kecil (yang biasanya dimiliki oleh penduduk setempat) biasanya lebih efisien daripada perhutanan skala besar (misalnya yang dimiliki oleh perusahaan transnasional) -artinya, dari luas hutan yang sama (di daerah dan jenis hutan yang sama), perusahaan skala kecil bisa memproduksi lebih banyak jumlah kayu yang bisa dipasarkan karena sedikit sekali hasil penebangan yang dibuang/dibakar. Penduduk setempat yang mengoperasikan perhutanan skala kecil sadar bahwa hidup mereka sangat tergantung dengan pemeliharaan hutan (yang merupakan midal) -bahwa kalau hutan sudah habis digunduli, mereka akan kehilangan mata pencharian. Tidak seperti perusahaan transnasional mereka tidak dapat dengan mudah hengkang, mencari hutan lain untuk dieksploitasi, karena terbatas dengan dana.

Dalam operasinya, usaha yang dijalankan oleh penduduk lokal lebih berwawasan lingkungan dan dapat lebih menjamin lapangan pekerjaan di masa depan. Implikasinya adalah bahwa perlindungan kekayan alam adalah jaminan pekerjaan untuk sekarang dan di masa depan. Operasi yang mempunyai wawasan lingkungan ini hanya akan terjadi kalau perhutanan dioperasikan oleh kolektif-kolektif pekerja lokal, yang sadar bahwa hidup mereka tergantung dengan manajemen hutan yang baik.

Selain itu, kesadaran tentang pentingnya konservasi alam juga dapat menjadi pemicu untuk membuka lapangan kerja yang ëhijauí yang belum ditelusuri, umpamanya industri eko-turisme.

Kesimpulan dari diskusi ini adalah, bahwa perlindungan alam konsisten dengan:

* perlindungan pekerjaan dan kadang-kadang dapat membantu membuka lapangan pekerjaan. Pekerjaan yang ada juga lebih permanen sifatnya.
* sistem produksi (dan ekonomi) yang efisien.
* peningkatan kesejahteraan buruh, misalnya dengan kontrol kekayaan alam oleh penduduk lokal.