Nasib Petani Kelapa Sawit

Rizal (52) benar-benar bisa tersenyum lega. Petani plasma dari Dusun Teluk Kijing III, Desa Teluk Kijing, Kecamatan, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatra Selatan, ini merasakan lonjakan penghasilan lahan kelapa sawitnya seluas 8 hektar. Harga sawit di sini Rp 1.723 per kilogram. Ini harga tertinggi sejak 21 tahun menanam sawit;’

Dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 1 juta per hektar (ha), setelah dipotong biaya pupuk dan tenaga kerja, Rizal bisa memmperoleh pendapatan Rp 8 juta per bulan. Saat panen puneak, penndapatan Rizal bisa dua kali lipat. Dusun Teluk Kijing III memang bergairah. Rumah-rumah tembok baru bermunculan, menggantikan rumah kayu jatah dari PT Perkebunan Nusantara (PN) VII yang dibagikan awal 1980-an. “Hampir tak ada lagi rumah kayu di sini. Setiap petani sawit juga’ punya sepeda motor, bahkan sebagian punya mobil,” tambah Rizal.

Namun, bagi Makmur Maryanto (40), Ketua Koperasi Plasma Desa Sule, Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim, keuntungan yang dinikkmati petani sawit plasma belum seberapa. “Harga memang naik, tapi seharusnya bisa lebih tinggi lagi. Selama ini penentuan harga sawit masih didikte pengusaha CPO dan pemerintah,” kata dia. Apalagi, tambahnya, petani kecil menghadapi banyak masalah. Misalnya, kesulitan pupuk dan kurangnya pabrik pengolahan kelapa sawit (PPKS), sehingga petani sering kesulitan menjual hasil panen saat panen puncak.

Petani harus pasrah menunggu hingga tiga hari sebelum kelapa sawit mereka bisa masuk ke PPKS. Akibatnya, hasil panen menyusut hingga 2 kuintal per 6 ton. “Perusahaan lebih mengutamakan sawit tanaman mereka sendiri. Pernah panen kami membusuk sebelum masuk PPKS sehingga akhirnya tak bisa dijual,” kata Novianto (36), Ketua Kelompok Tani UPT II Desa Sule.

Ekspansi sawit

Bagaimanapun, lonjakan harga sawit saat ini memang mengggiurkan, terutama bagi pemodal besar yang mampu membangun sendiri PPKS. Tak heran, pemodal besar-baik perorangan maupun perusahaan-berlomba membeli lahan dan menanam sawit dengan skala ratusan hektar hingga ratusan ribu hektar. Sawit Watch menyebutkan, Inndonesia telah membuka areal sekitar 18 juta hektar untuk perkebunan sawit dan baru 6 juta hektar lahan yang telah ditanami. Kini, rencana pembangunan perrkebunan kelapa sawit terbesar di dunia seluas 1,8 juta hektar tengah digagas di jantung Kalimantan.

Atas nama pembukaan perrkebunan sawit, pemodal besar mencaplok lahan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Deretan panjang konflik antara penggusura sawit dan masyarakat adat mengemuka. Belum lagi kerusakkan lingkungan yang terjadi karena karena sebagian lahan sawit dikonversi dari hutan alam. “Lahan keluarga kami seluas 15 hektar dirampas untuk dijadikan kebun sawit pada tahun 1980-an lalu. Tak ada ganti rugi, kami tak berani melawan karena perusaahaan menggunakan tentara,” tutur Kailani (68), warga Dusun Teluk Kijing III, Kecamatan Lais, Musi Banyuasin.

Dikutip dari: Ahmad Arif; Musim Semi Usaha Sawit, Lembar Fokus Kompas, 9 Mei 2008, hal:41

Tinggalkan komentar