Jelajah Alam Komunitas: Menapak di Bumi Bermani

ss851734Rabu, 26 November 2008 saya dibangunkan pagi-pagi oleh istri tercintaku “pak katanya mau ke Kepahiang, jadi dak.?” Dengan mata yang masih ngantuk bangun, diluar sepertinya masih hujan, aku keluar rumah dan memastikan apakah hujan akan redah, begitu sampai diteras rumah saya lihat betapa langit dengan awan hitamnya yang tebal seakan-akan mau menimpa bumi dan menumpahkan semua air yang ada dilangit, dan tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, apakah ini pertanda betapa kesalnya langit terhadap kehidupan dibumi yang selalu memproduksi polutan dan mengotori langit, atau memang ada banyak salah yang dilakukan seperti yang dipercayai oleh orang-orang tua di kampungku, “bapak idak jadi kepergi” kata-kata ini kemudian menbangunkan aku dari lamunan dan mencoba untuk mencari tahu kenapa hujan tak berhenti, Bdikar, jagoanku aku angkat dia dan ku cium hidungnya seperti kebiasaan yang selalu kami lakukan terhadap dia, “kan hari hujan” jawabku sambil mencium hidung mungilnya, “tunggu hujan berhenti ajo, pak” jawab dia singkat.

Kata-katanya seperti 1.000 suplement sebagai penyemangat untuk berbuat lebih banyak membantu masyarakat yang nun jauh disana selalu butuh kepastian hukum dalam mengelola wilayah kelolanya yang diklaim sebagai kawanan Negara kemudian disebut dengan Hutan Kemasyarakatan, betapa di sana hutan ini menjadi penompang utama sekaligus sebagai sumber-sumber penghidupan rakyat dan betapa mereka hidup dengan ketidak pastian, “apakah Indonesia ini belum merdeka sehingga rakyatnya harus dilegalkan untuk mengarap lahan yang dulunya adalah tanah leluhur mereka”, pertanyaan ini selalu muncul ketika saya duduk di depan rumah bersama putra tercinta sambil menunggu hujan reda.

Jam 15.18 saya kontak Deby, salah satu tim Fasilitator yang ditunjuk oleh YKS untuk membantu fasilitasi proses perizinan kelola wilayah HKm, “kita harus pergi, hujan sepertinya tak akan berhenti sampai malam”tegasku, “belikan matel untuk tim yang akan berangkat” tambahku. Jam 16.46 kami berangkat dari YKS dengan mantel yang baru dibeli Habil, salah satu Aktivis Akar yang ikut dalam kegiatan ini dan semua kebutuhan untuk pertemuan dibungkus dengan plastic, kita mulai berangkat menembus derasnya hujan dan Habil duduk dibelakang saya, sementara Debhy dan Hadiyanto fasilitator resmi yang ditunjuk oleh YKS berdua mengendarai sepeda motor kesayangan Hadiyanto yang merupakan hibah dari mertuanya.

Di simpang Lima kami sempat berhenti untuk mengisi bahan bakar, “mau ke curup ya nak.?” Tanya ibu tua sambil mengisi bahan bakar motor kesayangan saya yang kriditnyapun belum lunas dan dua tahun mati pajak. Di simpang lima tampak Pak Polisi sibuk mengatur lalu lintas ditengah hujan, “ini bentuk pelayanan yang sesungguhnya” tegasku dengan Habil yang pastinya tidak dia dengarkan kata-kataku karena telingganya ditutup oleh Helm.

Sepanjang perjalanan ke Curup, motor dan mobil hululalang dengan kecepatan tinggi seperti membawa obat karena istri pertamanya melahirkan. Sampai di Nakau Habil yang duduk di belakang saya sibuk terima telepon dan mengintruksi “buka File, clik dukument, cek printer” selalu begitu, tidak tahu untuk siapa intruksi itu tapi yang jelas sangat menganggu konsentrasiku membawa motor, sampai di Taba Penanjung kumandang azanpun berkumandang, laju kenderaanku coba turunkan untuk menghormati azan.

Hari mulai gelap dan suhu dingin mulai merasuki sampai ke sum-sum tulang ketika memasuki gunung, kami beriringan bersama pengendara lain menuju arah Curup tapi mereka kembanyakan mengacu kendaraanya dengan kencang seakan-akan dikejar hantu. Kami berhenti disebuah warung di gunung dimana biasanya kami mampir jika pulang kampong bersama keluarga, “kita tunggu Debhy dan Yanto dulu” sahutku dengan habil. Tak lama kami kemudian mereka sampai dan makan malamlah kami, saya pilih menu tempoyak dan ikan goreng, “Petainya habis” jawab wanita gendut penjaga warung.

Habis makan kami kemudian mengacu motor menuju Desa Kandang Kabupaten Kepahiang, dan saya kemudian di boncengi oleh Debhy sebelumnya mendapatkan sedikit intruksi bahwa lampu motor terlalu tinggi, rem agak blong, mati pajak, kredit belum lunas dan dijawab “motor kita sepertinya sama” oleh Debhy untungnya kami diiringi oleh Hadiyanto yang kenderaanya lebih normal. Perjalan terasa berat ketika mendekati “batas” yang merupakan puncak tertinggi kawasan gunung, dimana banyak lobang-lobang sementara jarak pandang hanya beberapa meter akibat turunnya kabut.

Jam 17.45 kami sampai dirumahnya “Sudi” di Desa Kandang, kami disambut dengan lolongan anjing peliharaannya, tak lama kemudian istrinya Sudi keluar menjambut kami, dan menyediakan beberapa gelas kopi untuk menghangatkan badan yang terasa hampir beku, sambil ngobrol “ngolor ngidul” dengan tuan rumah, sesuatu yang selalu menjadi pikiranku selama perjalananpun keluar yang disediakan oleh istrinya Sudi, 5 buah durian katanya hasil dari kebun mereka, tanpa basa basi saya langsung menghabiskan 2 buah dan badanpun mulai panas, capek dan penatpun hilang dan kami terkapar tidur.

Kamis 27 November 2009, saya lihat jam di HP ketinggalan zaman yang satu satunya saya miliki menunjukan jam 08.32 WRM (Waktu Rumah Majid) Hadiyanto mulai membuka diskusi dengan Bapak-bapak dan satu orang ibu yang katanya perwakilan kelompok tani Hkm yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani yang dibentuk atas kepentingan project salah satu instansi, dan ini terlihat jelas dari dari cara mereka mengekplorasi ketika dihujam beberapa pertanyaan soal kelembagaan ini.

10 menit berjalan forum ini kedatangan seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kota Curup, dia salah satu aktivis mahasiswa yang disegani di daerah ini, dia mau belajar banyak katanya. Saya kemudia ditugasi untuk menjadi Fasilitator diskusi ini, tapi saya lebih sepakat menyebutnya sebagai teman diskusi di banding Fasilitator. Semua kemampuan dan metode saya kerahkan, igitasi, propaganda, provokasi saya muntakan disini ternyata tanpa disadarinya sebelumnya beberapa masyarakat malah setuju dan muncul militasi mereka, “jika tidak bisa procedural kita akan paksakan dengan aksi demontrasi” sahut perserta yang merupakan Ketua BPD tersebut dan di iyakan oleh bapak-bapak yang lain. Jam 12.08 selesai sudah saya tumpahkan hasrat saya.

Kamipun kemudian berpamitan dengan Sudi yang telah suka rela menampung kami, kami menuju Desa Tebat Monok, disini rencananya akan dilakukan diskusi juga “semua undangan di urus oleh salah satu kontak kita disana” jelas Debhy. Sampainya kami di Tebat Monok kami coba hubungi kontak yang dimaksud oleh Debhy namun tidak ada jawaban. Akhirnya kita mampir di Rumahnya Pak Edi salah satu ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang dibentuk beberapa minggu lalu, “saya tidak tahu apa maksudnya Gapoktan, nama kelompoknya saja sampai hari ini saya tidak tahu” jelas Pak Edi yang juga Calon Legistalif dari salah satu PARPOL kepada kami, setelah di hubungi oleh Pak Edi, kontak yang dimaksud oleg Debhy kemudian menyatakan bahwa diskusi yang direncanakan akan dilaksanakan tesebut dibatalkan dengan beberapa alasan diantaranya undangan belum di berikan kepada peserta dan yang terpenting beliau tidak bisa karena harus menjaga Kebun yang merupakan sumber ekonomi keluarganya, kamipun mengerti dan dari hasil diskusi dengan Pak Edi bahwa diskusi akan dilaksanakan pada besoknya (setelah sholat jum’at tanggal 28 November) di Balai Desa Tebat Monok.

Jam 15.37 kami menuju Desa Air Lanang di Kabupaten Rejang Lebong, sampai di Kota Kepahiang kami berhenti makan, dan pastinya saya tetap setia dengan menu favorit “tempoyak” dan tidak lupa juga membeli peralatan mandi. Menuju Desa Air Lanang langit kembali mulai menumpahkan airnya seakan menyambut kedatangan kami, memasuki Desa Pungguk Lalang dan seterusnya, medan jalannya cukup berat dimana tebing-tebing sangat tinggi tetapi kondisi jalan yang Hotmik (aspal beton, demikian orang di Kabupaten ini menyebutkan jalan Hotmik, dan pembangunan infrastruktur jalan menjadi prioritas Pemda Rejang Lebong) kondisi jalan ini cukup membantu kendaraan saya yang belum lunas kreditnya menapak jalan terjal.

Kita langsung menjuju rumah Kepala Desa, se-sampainya disana kita disambut oleh Ibu Kepala Desa dan pastinya tidak lupa menyuguhkan kopi hanggat. Suasana pedesaan dengan corak agraris terasa kental disini, keakraban, keterbukaan dengan orang luar terasa sekali dan bukan karena kami satu bahasa dengan penduduk di desa ini. Malamnya kita mulai diskusi banyak hal dari corak pertanian, harga komoditi dan tak lupa pula persoalan politik menjelang 2009 dan yang saya tangkap bahwa masyarakat disini tidak begitu peduli dengan persoalan politik, mereka hanya memikirkan bagimana mereka bisa makan besoknya, biaya sekolah anak dan terasa tidak begitu pusing soal BBM, “kami bisa pakai kayu” celetuk Ibu Kades yang juga sebagai ketua PKK Desa Air Lanang sambil menujukan photo pelantikan suaminya 10 bulan yang lalu.

Pagi tanggal 28 November 2008, diskusipun dilakukan di Balai Desa dari proses diskusi ada kekesalan dari mereka yang merupakan pengurus kelompok tani HKm dari banyak pihak yang silih berganti yang menyatakan akan membantu mereka untuk menerbitkan izin garap di dalam kawasan Hkm, namun sampai saat ini belum satupun yang terealisasi, YKS merupakan tumpuan mereka dan mereka anggap YKS pihak yang netral dan mampu membantu mereka untuk menerbitkan izin. Sedikit provokasi juga coba dimainkan dengan bercerita pengalaman teman-teman Akar dalam mengadvokasi wilayah Eks PT BMS di Kota Padang, ternyata mereka terinspirasi, “jika kita izin ini dalam waktu dekat sulit diterbitkan, kita akan melakukan aksi” sambut salah satu peserta. Menjelang sholat jum’at diskusipun selesai dan menghasilkan kesepakatan bahwa akan dilakukan 2 kali lagi pertemuan untuk menajamkan strategi dalam upaya penerbitan izin.

Ketika kumandang azan sholat jum’at kami meninggalkan Desa Air Lanang, Hadiyanto dan Debhy menuju Desa Tebat Monok untuk diskusi kembali dengan pengurus kelompok Tani HKm di desa ini rencananya pertemuan akan dilaksanakan di Balai Desa Tebat Monok, sementrara saya besok harinya dimintak oleh Pak Iqbal wakil Bupati Rejang Lebong untuk ketemu beliua karena ada hal yang perlu di didiskusikan. Dari SMS yang disampaikan Debhy pertemuan di Desa Tebat Monok berjalan lancar meskipun diakhir acara ada juga yang coba memanfaatkan kegiatan ini untuk kepentingan politik namun tidak mengangu substansi dan alur kegiatan.

Sabtu 29 November 2008, dari SMS yang disampaikan oleh Pak Iqbal jam 09.00 dia mintak saya menemui dia di Ruangannya, sesampainya disana dia minta untuk menunggu sebentar keran harus membuka salah satu acara di Kota Curup, jam 10.00 akhirnya saya bisa ketemu dengan beliau, begitu saya masuk dia panggil ajudanya untuk membuat teh untuk saya, dalam hati saya ini pasti lama diskusinya dan ternyata benar diskusi menarik dan berakhir jam 12.13 karena beliau harus mimpin Apel siang, kita diskusi banyak hal dari persoalan yang ada di Rejang Lebong, Politik dan kondisi terkini di Rejang Lebong terutama sepak terjang orang-orang yang mengakui sebagai ektivis LSM.

Salah satu yang didiskusikan adalah agenda mendorong penerbitan izin HKm di Rejang Lebong yang berada di Desa Air Lanang seluas 210 Ha, yang menariknya Bapak Wakil Bupati ini sangat mendukung kegiatan ini, dan menyatakan kesiapannya untuk membantu fasilitasi proses penerbitan izin di Pemerintahan Daerah Rejang Lebong, “saya ini wakil bupati mas’ katanya, “kalau saya yang harus mengeluarkan izin ini kalian lengkapi datanya, satu minggu izinnya pasti keluar” tambah pak Iqbal, dalam kesempatan ini saya juga menjelaskan tahapan strategi salah satunya pada Bulan Januari akan membawa masyarakat ketemu baik dengan Wakil Bupati maupun dengan Bupati Rejang Lebong, “silakan saya mas saya tunggu tapi jangan bawa masyarakat kesini pakai truk ya..” sepertinya stigma melekat ke saya jadi Tukang Demo di Rejang Lebong karena beberapa kali buat aksi di Rejang Lebong.

Siangnya saya pulang kembali ke Bengkulu sudah rindu sangat dengan Jagoanku yang saya tinggalkan untuk menemani ibunya, di Kepahiang tak lupa saya belikan buah salak di tempat biasa saya belikan dengan Batak yang sok akrab. Erwin011208

Tinggalkan komentar