Sederhana itu Indah; Belajar Memahami Indonesia

 

Sepulang sekolah aku bergegas mengantikan baju seragam pramukaku yang sudah lusuh, hari itu hari sabtu. Dan, tadi disekolah kami belajar tentang pelajaran sejarah. Tepatnya mata Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Setelah seragam sekolahku berganti dengan pakaian “kotor”, pakaian ini pakaian khusus, kotor dan tambalan ada di mana-mana. Biasanya dipakai kalau ke kebun atau kesawah. Siang ini aku kebagian menjaga hama burung dan tikus yang mulai sering menyerang sawah kami yang sebentar lagi akan panen. Aku harus buru-buru kesawah selain sudah ditunggu oleh ibuku, dan tentu aku harus makan siang di sawah hari ini. Sore ini juga aku ditugasi membantu Wakku, dia kakak ibuku namanya Dulaha. Kami biasa panggil dia Wok Odon. Sore ini dia akan membuat ritual untuk mengusir hama tikus disawah kami. Namanya “betikeun”, setelah ritual ini dilaksanakan, kata ibuku, jika ada tikus yang nekat masuk kesawah maka tikus-tikus itu akan mati dengan badan yang membengkak. Selain punya kemampuan kanuragan, ilmu-ilmu kampung yang bernuansa mistis. Wakku ini didik oleh pendidikan Belanda dan Jepang, tentu bahasa Belanda dan Jepangnya bagus sekali, dan pengetahuannya juga sudah pasti luas sekali. Sehingga. Kemudian, dia pernah menjadi Asisten peneliti M.A Jaspan, seorang anstropolog dari Australia dan pernah juga menjadi pimpinan desa ketika masa kritis pemberontakan PRRI, dan anaknya pernah ditembak oleh Gerombolan PRRI dan mati dipelukan istrinya.

Menjelang magrib dia baru tiba di sawah kami. Lalu, ritualpun dimulai. Aku duduk disampingnya, didepan kami ada 7 batang benik dari beras ketan hitam dan paha ayam kampung panggang yang sudah disiapkan oleh ibuku. Benik adalah nasi yang dimasak dalam bambu, di Sumatera dikenal dengan Lemang. Mataku melotot dan fokus ke batang-batang lemang dan paha ayam panggang yang mengeluarkan minyak dan warna merah, air liurku mencair, mulai menetes keluar lewat kiri mulutku. Sementara Wakku melapaskan mantera-mantera yang tidak aku mengerti, setelah selesai ritual, aku diajak Wakku mengelilingi sawah, bibirnya gemetar pertanda dia masih melapaskan mantera. Aku berjalan dibelakangnya. Pikirankku masih tertuju ke batang lemang dan paha ayam. Setelah selesai mengelilingi sawah kami, dia pamit pulang dan akupun langsung berlari menuju titik ritual pertama, ada sesuatu yang harus aku ambil dan selamatkan. Lemang dan paha ayam panggang. Setelah sholat magrib, Aku, ibu dan adikku pulang ke rumah. Bapakku masih bertugas menjaga sawah malam ini. Malam berikutnya tidak perlu di tunggu lagi pesan Wakku.

Setelah habis sholat isya. Wakku datang bertandang ke rumah kami. Rumah adik perempuannya. Yang sebenarnya adalah rumah ibunya. Ibuku adalah bungsu dari 10 orang saudaranya, dan aku tahu betul kakak-kakaknya sangat menyangi ibuku. Malam ini Wakku datang dengan syal sulaman warna biru yang selalu menempel di lehernya, berbaju sapari warna biru muda, sarung kotak-kota dan peci hitam.  Garis wajahnya tegas, bersih, berwibawa dan kharismanya memancarkan aura yang sangat kuat sekali. Tangan kecilku tiba-tiba langsung menyambar betisnya. Aku memulai ritual pijatan di betis kirinya, dia tersenyum sambil memegang kepalaku. Dia tahu sebagai ‘‘barter” atau sebutlah upah memijat betisnya, dia harus bercerita. Semakin panjang cerita maka semakin lamalah durasi pijatanku. Dia sering cerita apa saja, tentang sejarah mantera yang merupakan rapalan dari susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Tentang sejarah lelulur, tentang adat bahkan tentang pengalaman hidup dia di beberapa priode. Kadang-kadang dia sering bernyanyi dalam bahasa Jepang dan Belanda.

“Win, tadi di sekolah balajar apa?”. Belajar Sejarah, jawabku cepat. Biasanya ini pertanda cerita akan dimulai. Dia tersenyum, telinggaku sepertinya bergerak dan lobangnya membesar. Dia merepon dengan mengubah posisi duduknya. “tadi penjelasan guru kami, Indonesia dijajah selama 350 tahun”.  Aku mulai memancing ceritanya. Dan itu lama sekali kita menjadi bangsa terjajah yang terbelakang, kemudian bermental inlender, lanjutku. Wajahnya tidak berubah, menandakan kematangan emosional. “Kita tidaklah minderwardheid, minder atau tidak percaya diri” katanya bijak. Dari hasil penelitian yang lebih teliti, Belanda baru dapat mengkonsolidasi kekuasaanya atas Nusantara dan efektif menguasai Nusantara cuma 70 tahun, catatannya apabila Aceh dan Bali baru ditaklukkan di abat ke 20. Dia mulai melanjutkan cerita. Seperti biasa, jawabannya selalu memancing pertanyaan-pertanyaan baru dariku.

“Aku lebih percaya di angka 350 tahun”, pijitankku semakin kuat. “Nyatanya, entitas bangsa nusantara kita mengalami kehancuran berlahan-lahan menjadi berkeping-keping, menyebabkan kehancuran moral dan mental, serta tidak adannya konsolidasi kebangsaan sebagai satu bangsa yang merdeka, kalau hanya 70 tahun tidak seperti ini kejadiannya”. Lanjutku. Dia terdiam, aku senang, tiba-tiba dia melepaskan peci dan minum kopi buatan ibuku. Di belakangku, sambil menjahit dan memasang lambang Pramuka di bajuku, ibuku melirik dan menahan senyum. Jawaban panjangku pasti mampu mengangkat ingatan kolektif Wakku yang hidup dan mengalami masa jajajah maupun pergolakan setelah Indonesia Merdeka.

“Belanda pertama kali datang ke Maluku dengan maksud memonopoli pasar rempah-rempah dan setelahnya mencari pangkalan tetap, yang kemudian ditemukannya di Batavia tahun 1619. Setelah perang melawan Kerajaan Mataram, Belanda menguasai konsesi di Priangan dan Semarang di tahun 1977. Kejadian ini memperlemah posisi Mataram”. Lobang telingaku semakin membesar. “Di tahun 1705 VOC memperoleh daerah perniagaan Cirebon dan Madura, baru di Tahun 1743 memperolah seluruh pantai Utara Mataram, lalu tahun 1755 Kerajaan Mataram ini diserahkan kepada VOC, perusahan kongsi dagang Belanda. Pada priode ini kekuasaan politik Belanda dimulai”. Dia melanjutkan dengan rinci dan lebih detail dibandingkan Guru Sejarahku di Sekolah tadi.

“Lah, kenapa Belanda berubah dari kongsi dagang ke kongsi Politik?”. Tanyaku. Mata kami saling bertatapan, dan aku menunduk, tidak sanggup lama-lama menatap sorotan matanya yang tajam.

“Pada dasarnya, tidak ada yang berubah. Setelah diadakannya berbagai kebijakan agraria guna menguasai produk pertanian bagi pasar dunia yang dilaksanakan sejak abad ke 18 lewat kerja rodi dan penanaman paksa. Lalu, bentuk kongsi dagang VOC dianggap tidak lagi efisien dan produktivitas penanaman paksa mulai dipertanyakan”. Lanjutnya, tapi kali ini dia akhiri dengan senyuman. Dan, akupun tambah bersemangat memijat betisnya. Sepertinya barter kami malam ini, barter pijatan dengan cerita mulai saling menguntungkan.

“Oleh karenanya”. Di berhenti untuk menyulutkan rokok Nipahnya.

“Sejak tahun 1800 dimulailah di Jawa satu negara kolonial modern Hindia Belanda, yang dasar-dasarnya dimulai sejak Gubernur Jendral Dendels di tahun 1806. Dan, pada masa Raffles di perkenalkan sewa tanah individual yang mencerminkan liberalisme Inggris, sehingga sejak saat itu dimulai seterusnya titik berat ekonomi kolonial kepada pertanian, dan bukan lagi perdagangan, sebagaimana strategi awal VOC”. Kalimat ini keluar dari mulutnya bersamaan dengan asap rokok yang membuat dadaku sesak, aku terbatuk kecil dan lobang hidungkupun mulai mengecil, ini bentuk respon alamiah pertahanan tubuh ketika ada serangan dari luar. Tapi, dia tidak peduli dengan keberatan tubuhku dengan asap rokok yang tembakaunya ditaman sendiri oleh dia. Sepertinya dia memaksa tubuhku beradaptasi dengan serangan asap rokoknya.

“Meskipun demikian elemen-elemen merkatilisme masih kuat di Belanda, karena itulah didirikan badan usaha baru. Namanya NHK (Nederlandche Handel Maatschappij) pada tahun1824.” Bahasa Belandanya menyebutkan kepanjangan NHK sangat Fasih. Aku terkagum-kagum penguasaan Bahasa Belandanya. “Maskapai ini sebagian besar sahamnya masih di kuasai oleh Raja Belanda untuk mengusahakan berbagai komoditi pertanian”. Lanjutnya, asap rokoknya semakin tebal saja. “Di tahun 1830 dimulai kembali sistem tanam paksa di bawah Van Den Bosch dengan pemaksaaan untuk menanam tanaman ekspor, yang merupakan bentuk penghisapan surplus pertanian paling efektif”. Lanjut dia semangat.

“Dengan riwayat tadi, riwayat kolonialisme-imprealisme”. Dia tersenyum ketika mendengar aku menyebutkan istilah kolonialisme-imprealisme. Dalam hatiku mungkin dia kagum anak kelas 5 SD bisa menyebutkan istilah kolonialisme-imprealisme. Tetapi, cuma itu yang aku dengar dan ingat dari penjelasan guru Sejarah di Sekolahku tadi. “Proses tersebut telah merusak semua pencapaian masyarakat yang ada sebelumnya, semuanya telah ditaklukkan untuk tunduk dan hanya mengikuti perintah dari pemerintahan seberang lautan, pertanian kemudian menjadi subsistens, karena semuanya disedot keluar untuk pemerintahan Belanda”. Lanjutku bersemangat, kata-kata sedot sebenarnya untuk Wakku, untuk sedotan batang rokoknya yang mulai menganggu pernapasanku. Pesanku sampai, dia lalu mematikan rokoknya. Tetapi masih ada 3 batang rokok nipah yang sudah disiapkannya dan pasti akan ada sedotan lagi yang akan mengeluarkan asap tebal yang bisa buat sesak dadaku yang sedang mengalami pertumbuhan.

“Pada tahun 1870, Undang-undang tanah Agraria diberlakukan, dan dimulainya sistem perkebunan besar, petani dipaksakan untuk menyewa tanahnya kepada perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar, sementara petaninya tinggal menjadi kuli upahan. Akibatnya terjadi peningkatan produksi dan berakibat pula terjadinya depresi yang hasilnya memunculkan kosentrasi kapital pada perusahaan besar”. Dia mulai memprovokasiku.

“Kolonialisme telah merubah Indonesia menjadi keadaaan yang sekarang ini, yaitu timbulnya masalah-masalah paska-kolonial yang rumit dan kompleks, bukankan struktur agraria pra-kolonialisme berupa kuatnya sistem perhambaan feodal dan lembaga bagi hasil”. Aku tiba-tiba memotong penjelasannya.

“Ia”. Jawabnya sambil menjulurkan kakinya sebelah kanan, setelah tangan kecilku merayap padat di betis kirinya.

“Pada masa penjajajahn Belanda, guna melayani sistem tanam paksa dihidupkan kembali komunalisme desa. Sistem tanam paksa ini sistem yang unik, yaitu mengkombinasikan dipertahankannya kekuasaan feodal dengan kepentingan kolonialisme dari luar”. Lanjutnya. Suaranya kemudian diturunkan. “Hasilnya adalah memadukan cara produksi yang komunal dan feodal, petani mendapatkan tanah, statusnya sebagai petani hamba yang menyerahkan tenaga kerjanya untuk tanaman komoditas yang diharuskan oleh Pemerintah sebagai ganti pembayaran pajak. Bersamaan dengan itu kelas tuan tanah diperlemah”. Suaranya mengeluarkan intonasi sedih, berbanding terbalik dengan intonasinya ketika membaca mantera sore tadi di sawah ibuku.

“Padahal”. Lanjutnya sambil menghidupkan  rokok daunnya, asapnyapun memenuhi rongga mulutnya. “Pada abad ke 15 di Jepang, feodalisme matang disempurnakan oleh dinasti  Shogun Tokugawa yang berkuasa stabil selama 270 tahun. Setelahnya ditransformasikan ke dalam pemerintahan borjuasi di bawah restorasi Meiji”. Ah, dia mulai memecahkan kosentrasiku. “Dan, akhirnya dinasti terakhir Shogun Tokugawa, Yoshinobu akhirnya disingkirkan oleh para samurai muda, yang merasa kecewa dengan konsesi-konsesi yang diberikan pemerintah Tokugawa kepada pihak asing. Peristiwa ini kemudian kita kenal dengan istilah restorasi itu”. Lanjut dia.

“Setalah kita Merdeka, kondisi dan hubungan sosial dari sisa-sisa feodal dan kolonial yang lama tetap berlangsung, sehingga Pemerintah Indonesia yang baru kesulitan untuk bisa menerapkan suatu rencana besar pembangunan yang jelas dalam memecahkan warisan struktur tersebut”. Ternyata dia ajak pikiranku untuk membandingkan kondisi Jepang dengan Indonesia. Aku terdiam, aku kesulitan menghubungkan kondisi di Jepang dengan alur sejarah yang terjadi di Negaraku, Indonesia. Atau Wakku sengaja mengalihkan perhatianku supaya durasi pijatan semakin lama.

“Lalu, apa yang terjadi di Indonesia, ketika kita awal Merdeka, adakah restorasi?”. Tanyaku menghubung-hubungkan, restorasi dengan kemerdekaan meskipun aku sendiri tidak paham maksud pertanyaanku. Dia ternyata berhasil memanjangkan durasi pijatanku.

“Kondisinya begini, para tuan kolonial lama, condong kepada dekolonisasi politik tetapi bukan ekonom, karena itu mereka bersiap-siap berfungsi melalui kelompok-kelompok nasionalis yang pantas dan moderat, komprador neo-imprealisme dan neo-kolonialisme yang setelah pemindahan kekuasaan berhadapan dengan para nasionalis radikal dan komunis serta kelompok lain yang mengajurkan dekolonisasi total”. Dia mencoba menjelaskan meski dia tahu aku pasti tidak mengerti maksud dari penjelasanya.

Tiba-tiba diluar rumah ada suara ribut. Suara gentongan. Dari ketukannya, biasanya akan ada pengumuman. Aku langsung meloncat keluar rumah. Aku melepaskan diri dari semburan asap rokok dan memulihkan pegalnya tanganku setalah merayap pada di kedua betis Wakku.

Tuk..tuk..tuk..tuk bunyi pukulan pada bambu yang menjadi alat gentongan. Setelah ketukan itu berhenti Pak Sahak yang di tugasi menyampaikan pengumuman. Suaranya keras melengking “Besok akan dilaksanakan sensus penduduk naik rumah turun rumah, gunanya untuk pendataan kelayakan mendapatkan bantuan pendanaan program bimbingan masyarakat atau BIMAS. Pemerintah akan membantu peningkatan usaha pertanian sebagai basis ekonomi rakyat, jadi besok jangan ada yang pergi ke sawah atau ke kebun demi suksesnya Sensus ini. Demikian pengumuman ini disampaikan”. Biasanya aku ikut mengawal Pak Sahak keliling desa menyampaikan pengumuman ini. Karena Wakku masih ada di rumah kami, jadi setelah mendengarkan penguman ini aku kembali duduk di samping Wakku.

“Sudah saatnya perencanaan pembangunan itu beralih dari ekonomi neo-liberal kepada perekonomian yang heterodoks atau non-mainstream. Ini sangat penting, karena neo-liberal atau ekonomi pasar menyebabkan tidak adanya pilihan-pilihan pembangunan yang beragam dan tidak adanya ruang publik yang berbeda dengan mekanisme pasar. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas hanya bisa terjadi jika kebijakan ekonomi mementingkan kepentingan rakyat”. Lanjutnya tiba-tiba. Akupun mengangguk-angguk tidak mengerti. Dia kemudian pamit pulang ke ibuku. Dua batang rokoknya tertinggal, aku berlari kedapur. Lemang dan paha ayam kampung sudah dingin. Aku kelaparan karena memang belum makam malam dan aku seperti kesetanan melahap lemang dan paha ayam, kesetanan makan seperti para dedemit penunggu mantera Wakku. Semoga badanku tidak membengkak, seperti tikus yang kena mantera yang nekat masuk ke sawah kami.

 

 

Tinggalkan komentar