Strategi Menyelaraskan Hubungan Pengusaha-Pekerja


Yuyun Rahmawati
Kandidat Doktor Ilmu Administrasi FISIP UI

Masih segar dalam ingatan kita, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi sejumlah menteri membuka dialog dengan komunitas buruh di Istana Negara, Jakarta, Senin (31/3) lalu. Presiden mengharapkan ada pembagian tanggung jawab untuk membangun hubungan industrial antara pengusaha dan buruh yang kondusif untuk investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Pemerintah sebagai otoritas tertinggi bagi semua pihak, harus bersikap netral dan ikut membantu mencarikan cara penyelesaian yang komprehensif. Inilah salah satu aspirasi dari kaum buruh. Tetapi, kita tahu bahwa dalam kenyataannya forum tripartit (perwakilan buruh, pengusaha, dan pemerintah) yang diharapkan bisa meraih kemajuan secara signifikan ternyata baru sebatas mimpi. Pertemuan memang kerap kali dilakukan, tetapi sulit menghasilkan kesepakatan bersama.

Aksi unjuk rasa kaum buruh yang kadang memicu tindakan anarkis ikut menjadi faktor penyebab hengkangnya perusahaan asing di Indonesia. Saat membuka Forum Koordinasi Nasional Mediator Hubungan Industrial di Jakarta, Kamis (10/4), Wapres Jusuf Kalla mengingatkan para mediator perselisihan perburuhan agar selalu bersikap arif, bijaksana, tetap menjadi orang tengah dan bukan menjadi promotor apalagi provokator.

Kita melihat bahwa kondisi ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia memang kurang kondusif untuk berinvestasi. Sementara itu, pemerintah selaku regulator, sekaligus mediator antara pengusaha dan pekerja, juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro melalui masuknya investasi. Kalau perlu dengan menekan upah minimum pekerja.

Kondisi inilah yang selalu membuat para pekerja terperangkap di antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah. Banyak pengusaha yang berkeberatan memberikan hak upah minimum pekerjanya meski pemerintah telah menetapkannya. Alasannya, pengusaha tidak ingin melihat para pekerja itu hanya memikirkan haknya sebab mereka sulit untuk diajak kompromi.

Bagi pengusaha, yang akan diberikan kepada para pekerja harus sesuai dengan kemampuan perusahaan dan prestasi mereka. Di sisi lain, para pekerja umumnya cenderung tidak peduli dengan kesulitan perusahaan dan tidak mau bagiannya dikurangi. Tarik ulur kepentingan dalam berbagai masalah mendasar mengakibatkan ketiga pihak terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.

Optimalkan peran pemerintah
Upaya pemerintah menjembatani kepentingan pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan dengan mengajak kedua pihak bermusyawarah guna menciptakan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) serta Persetujuan Bersama (PB) dan selalu menyesuaikan klausulnya dengan perkembangan situasi. KKB ini tidak perlu disahkan, bahkan tidak harus disetujui dan cukup diketahui oleh para pekerja dan pengusaha.

Dasar hukumnya adalah UU No 21 Tahun 1994. Musyawarah untuk mufakat dalam KKB berbentuk adu argumentasi, saling negosiasi kepentingan, serta yakin-meyakinkan dan mengintensifkan perundingan-perundingan untuk mendapatkan solusi yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang berselisih. KKB dan PB pada dasarnya merupakan musyawarah untuk mufakat serta transparansi komunikasi, konflik tenaga kerja, dan perusahaan.

Dengan demikian, pengusaha bisa menyelesaikannya secara internal, tidak perlu sampai mengagendakan sidang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Apalagi, menjadi konsumsi publik sehingga perusahaan tidak akan mengalami kerugian ganda, bisa dari demonstrasi pekerja, kalah dalam sidang P4P karena kurang bahan atau kurang argumentasi, dan mendapat citra buruk di mata pemerintah dan publik atau masyarakat.

Bila KKB kurang manjur atau tidak efektif, pengusaha sebenarnya bisa merujuk pada peraturan perusahaan yang dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No 2 Tahun 1978. PB merupakan bentuk kesepakatan pertama yang disetujui pihak manajemen dan para pekerja yang mengikat kedua belah pihak secara hukum.

Hal lain yang lazimnya dijadikan pegangan dalam menghadapi tuntutan ketidakpuasan pekerja atas kebijakan perusahaan adalah berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU No 12 Tahun 1964, UU No 04 Tahun 1986, dan Permen No 03 Tahun 1996. Aturan itu mengatur uang pesangon, uang jasa, imbalan, dan perjanjian-perjanjian, termasuk perjanjian individual. Ini untuk menempatkan masalah pada proporsinya.

Perusahaan memang bisa menyandarkan kebijakannya pada peraturan perundang-undangan dan perjanjian-perjanjian tersebut, sementara para pekerja tidak dapat memaksakan kehendak mereka di luar konteks peraturan itu. Ini karena sudah merupakan ketentuan standar yang diketahui bersama. Pemerintah sudah tentu memfasilitasi peradilan hubungan industrial untuk menyelesaikan sengketa permasalahan antara pekerja dan pengusaha jika salah satunya melanggar kesepakatan bersama atau tidak mencapai kesepakatan.

Harmonisasi hubungan
Data survei angkatan kerja nasional 2004-2006 mengungkapkan rendahnya perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan dan keselamatan pekerja. Selain itu, 70,2 persen pekerja Indonesia menganggap fasilitas tempat bekerja serta fasilitas keselamatan kerja mereka masih buruk.

Lalu, 61,4 persen pekerja menganggap ketersediaan fasilitas kerja mereka pun masih buruk. Kondisi yang sama dialami 59,0 persen pekerja dalam hal jaminan kesehatan. Menurut mereka, jaminan kesehatan di tempat kerjanya tidak memadai bagi perbaikan kesehatan pekerja.

Padahal, perusahaan perlu menata kembali sumber daya manusia (SDM) sebagai sumber daya saing agar selalu mampu mewujudkan keberadaan perusahaan yang berkelanjutan. Paradigma baru terhadap manajemen SDM juga harus diterapkan, yakni dengan memandang pekerja sebagai manusia yang harus dihormati agar konflik antara pekerja dan pengusaha tidak menjadi rumit.

Kita melihat perlunya memperbarui sistem komunikasi untuk membuka hubungan yang saling menguntungkan antara pekerja dan pengusaha terhadap apa yang masing-masing keluhkan. Pengusaha dengan permasalahan manajemennya dan para pekerja pun bisa menyampaikan tuntutan kenaikan upahnya. Kedua pihak dapat duduk bersama guna menentukan solusi yang terbaik. Syaratnya, kedua pihak harus bersikap jujur, berprasangka baik, objektif, dan mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka buat bersama.

Meskipun sulit bagi kedua pihak, tetapi tentu ada solusinya jika mereka dapat menjalin komunikasi yang baik, seperti layaknya keluarga yang harmonis. Ini merupakan win-win solution dalam bidang manajemen. Pengusaha akan tetap meraih profit secara berkelanjutan. Pekerja pun bisa menikmati kehidupan yang layak sebagai hasil dari hubungan yang harmonis di antara kedua pihak.

ikhtisar

– Pemerintah harus bersikap netral dalam menjadi penengah masalah.
– Harmonisasi kerja menjadi kunci agar pengusaha dan pekerja bisa saling menghargai.

Sumber_http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=331988&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=

Anomali demokrasi Indonesia


Y a n s e n
Dosen Universitas Bengkulu, Sedang Studi Doktor di Australia

Indonesia adalah bangsa feodal dan patron. Selain memiliki legitimasi yang sangat kuat, pemimpin mendapatkan kedudukan yang mulia. Konsekuensinya, para pemimpin mempunyai pengaruh kuat dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.

Sejarah menunjukkan pemimpin formal seperti Indonesia sering kali menjalankan kekuasaan tanpa kritik. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas bahkan tak terkendali. Tapi, secara jujur harus diakui, sedikit banyak feodalisme merupakan bagian kebudayaan timur.

Oleh pendukung teori-teori sosial Barat, hal ini banyak dikritik. Demokrasi kemudian dianggap sistem paling ampuh dan ideal dalam pengaturan hierarki kepemimpinan masyarakat. Walhasil, demokrasi pun dijajakan, bahkan dipaksakan ke semua bangsa. Indonesia modern pun menerima demokrasi. Soekarno dan Soeharto menerapkan demokrasi semu. Demokrasi dimanipulasi dan dijadikan senjata memperkuat patronisme.

Demokrasi kemudian semakin mendapat tempat di negara ini. Kita bahkan kembali kepada demokrasi dalam bentuk aslinya. Semua dipilih secara langsung. Sesuatu yang tidak terjadi di negara kampiun demokrasi sekalipun.

Tapi, apakah setelah itu secara mental pemimpin-pemimpin yang terpilih terbebas dari feodalisme? Apakah mereka terbebas dari pikiran bahwa mereka mempunyai kekuasaan sepenuhnya pada masyarakat sehingga bisa memanipulasi keinginan-keinginan grass root?

Ternyata tidak. Inilah anomali pertama demokrasi di dunia ketiga: demokrasi dan feodalisme bisa hidup di bawah satu atap. Anomali kedua, demokrasi tidak berbanding linier dengan kesejahteraan. Dengan amanat langsung dari rakyat, pemimpin mempunyai legitimasi sangat besar untuk dapat membawa rakyat ke arah yang lebih baik. Kegagalan akan berakibat pada dicabutnya mandat dari rakyat. Tapi, apa yang terjadi? Demokrasi bahkan berbanding terbalik dengan kesejahteraan.

Laba yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya besar yang dikeluarkan. Demokrasi kita pun menjadi demokrasi biaya tinggi. Akhirnya kita pun lelah dengan demokrasi. Demokrasi hanyalah alat, demikian gugat Jusuf Kalla, kesejahteraanlah tujuannya. Tapi, adakah jalan pintas menuju ke sana?

Lalu, mengapa anomali ini terjadi? Apakah demokrasi memang tidak inheren dengan sistem kebudayaan kita? Atau kita yang tidak mampu beradaptasi dengannya? Beberapa faktor mungkin menjadi penyebabnya. Salah satunya adalah permasalahan fundamental budaya.

Dalam khazanah sosiologis kita, setelah bangsa Indonesia berkembang pesat, struktur pemikiran feodal tidaklah hilang dari logika budaya bangsa. Feodalisme telah menjadi archetypes, dalam istilah Carl Gustaf Jung, alam bawah sadar kita. Ia pun tak jadi mudah dihilangkan hanya dengan mencoba menerapkan sistem kebudayaan baru. Jadi, tanpa mengubah fundamental budaya yang feodalistis dan patronis, demokrasi tidak akan memberikan hasil positif bagi bangsa ini.

Dalam iklim demokrasi dengan anomali seperti ini, feodalisme bahkan menemukan bentuknya yang paling berbahaya. Ia berbahaya ketika pemimpin yang memiliki jiwa otoriter dan manipulatif terpilih secara demokratis. Ujungnya, mereka merasa mempunyai legitimasi yang sangat kuat. Dengan legitimasi itu, para pemimpin tersebut sering kali melabrak etika dan fatsun politik, melanggar aturan, bahkan melakukan tindakan koruptif dan manipulatif.

Di tangan para pemimpin seperti ini, demokrasi yang sehat mendekati ajalnya. Politik uang menjadi senjata ampuh untuk membunuh demokrasi. Ditambah lagi, primordialisme menjadi jualan utama dalam pesta demokrasi. Maka, wajar jika program merupakan hal yang ke sekian untuk dipikirkan. Kalaupun disusun secara baik, program-program yang ditawarkan tidak lebih dari sekadar pemanis kampanye.

Hasilnya, semakin lama bangsa ini semakin seperti bus yang kehilangan arah. Padahal, di dalamnya ada ratusan penumpang yang berharap pada kemampuan, kelihaian, dan kearifan sopir dalam melajukan kendaraan. Jika tidak, bus ini akan menjadi juggernaut, istilah Anthony Giddens, tokoh sosial demokrasi. Sebuah kendaraan tak terkendali yang menuju jurang kehancuran.

Akhirnya, menggema ketidakpercayaan pada pemimpin-pemimpin tua. Mereka dianggap gagal mengawal reformasi dan tidak memberikan arah jelas perkembangan bangsa. Walaupun dipilih secara demokratis, mereka dianggap tidak memiliki spirit progresif. Bahkan, mereka ditengarai membawa penyakit feodal yang akut. Mereka dipercayai hanya mampu mengumbar retorika-retorika politik. Tapi, permasalahan-permasalahan tak kunjung tuntas.

Penanganan bencana, lumpur lapindo dan banyak masalah lainnya tidak juga terselesaikan. Masalah yang satu hilang hanya karena tertutupi oleh masalah baru yang muncul. Ujungnya, terjadi kebosanan masyarakat pada para elite pemimpin. Tetapi, apakah dengan regenerasi semua masalah akan selesai dan demokrasi Indonesia dijalankan secara benar? Semuanya masih menjadi tanda tanya.

Demokrasi adalah barang baru bagi bangsa ini. Menerima mentah-mentah demokrasi tanpa proses pembelajaran dan pengenalan lebih baik adalah menggali kubur sendiri. Karena itu, pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri.

Pemahaman yang utuh dan disertai perubahan sikap pandang merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk mendapat manfaat dari demokrasi. Partai politik dan para pemimpin politik harus menjadi inisiator pembelajaran politik masyarakat. Jika praktik-praktik menyimpang masih diterapkan di alam demokrasi kita, jangan harap bangsa ini bisa maju dengan menerapkannya. Yang ada bahkan kita semakin mudah diperalat kepentingan bangsa lain.

Sumber_http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=331989&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=

Kaum Muda dan Kebangkitan


Oleh :

Rama Pratama
Ketua Umum Gema Keadilan

Bulan Mei ini, kita sebagai sebuah bangsa merayakan seratus tahun kebangkitan nasional. Pada hakikatnya perayaan seratus tahun kebangkitan nasional ini harus menjadi titik tolak kebangkitan kaum muda. Karena memang pada kenyataannya sejarah telah bercerita bahwa suara kebangkitan itu selalu diteriakkan dan digelorakan oleh kaum muda. Keberanian untuk memperjuangkan perubahan, kekuatan untuk membangun peradaban sesungguhnya berada ditangan kaum muda.

Sebagaimana Hasan Al banna, seorang pemimpin pergerakan di Mesir pernah mengatakan “didalam setiap kebangkitan, maka pemudalah rahasianya”. Bahkan Sukarno dalam sebuah pidatonya pernah berkata “berikan aku sepuluh orang pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”.

Kenyataan hari ini memang bukanlah suatu hal yang mudah bagi kaum muda Indonesia. Instrumen pembinaan kaum muda Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada berbagai organisasi pemuda, baik yang berada di bawah organisasi massa, partai politik, maupun yang bersifat mandiri. Ada juga yang berdasarkan profesi, kesukuan atau kedaerahan, baik lokal maupun nasional. Namun kebanyakan, hampir kehilangan daya geraknya.

Organisasi pemuda yang seharusnya dinamis, penuh inisiatif dan semangat perubahan seakan-akan kehilangan vitalitasnya. Mereka sibuk dengan urusan internal organisasi sehingga lupa ada tugas besar yang menanti mereka. Mereka lupa, lebih dari dua ratus juta jiwa rakyat menanti karya-karya besar kaum muda untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan.

Orang-orang muda saat ini masih menjadi komunitas yang berserakan sehingga dampak perubahannya kurang signifikan, jika dilihat dari perspektif kebangsaan secara keseluruhan. Andai mereka terhimpun dalam organisasi yang mampu membangun sinergi dan partisipasi, tentulah energi perubahan yang akan dihasilkan menjadi tak tertahan. Sayangnya, mereka seringkali enggan berhimpun dalam wadah-wadah kepemudaan, karena dalam persepsi mereka, wadah kepemudaan saat ini tak lebih dari kumpulan pengangguran yang mencari hidup dengan menjual proposal kegiatan.

Persepsi seperti itu tentu harus diubah. Para aktifis kepemudaan harus dapat menunjukkan bahwa mereka berhimpun bukan untuk mencari makan apalagi jabatan. Mereka berhimpun untuk suatu perubahan menuju Indonesia baru, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam upaya revitalisasi organisasi kepemudaan, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kejelasan ideologi. Ideologi adalah energi gerak yang luar biasa. Ia memberikan arahan sekaligus batasan mengenai sejauhmana idealisme harus dipertahankan. Organisasi yang tidak memiliki kejelaskan ideologi hanya akan menjadi kerumunan yang tak jelas apa yang akan diperjuangkan. Organisasi seperti ini akan sangat mudah ditempa perpecahan.

Kedua, persoalan kaderisasi. Kader merupakan elemen penting karena merekalah pembawa misi agar ideologi terealisasi. Penanaman jati diri dalam sebuah proses kaderisasi yang tertata rapi menjadi sebuah keharusan bagi setiap organisasi. Di tangan kader yang terideologisasi dengan baiklah, keberlangsungan organisasi dapat dipertahankan. Ketiga, persoalan struktur. Struktur organisasi membagi peran dan tanggung jawab setiap orang di dalamnya dengan jelas. Struktur yang disertai job description dan job specification yang jelas, akan mempermudah koordinasi dalam upaya konsolidasi.

Organisasi kepemudaan yang solid dan memiliki energi gerak yang dinamis akan sangat membantu kaum muda dalam menjalankan perannya sebagai agen perubahan. Sesungguhnya tugas kaum muda saat ini sangatlah luar biasa. Tantangan situasi domestik yang begitu mengerikan, seperti ancaman perpecahan, kemiskinan yang berkepanjangan, kerusakan lingkungan, merupakan pekerjaan rumah kaum muda yang belum terselesaikan.

Pada saat yang sama tantangan peradaban yang muncul sebagai konsekuensi dari globalisasi tidak mudah dieliminasi. Terkait tantangan globalisasi ini, Yusuf Qardhawi dalam bukunya ‘Menyongsong Abad 21’ mengingatkan: “meskipun kolonialisme militer Barat telah membawa pulang slogannya dan meninggalkan jajahannya namun ia meninggalkan penjajahan yang lebih berbahaya dan lebih dalam pengaruhnya dalam kehidupan, yaitu kolonialisme peradaban.”

Kolonialisme peradaban, jika dibiarkan akan mengeliminasi kepribadian dan jati diri bangsa. Boleh jadi, suatu hari nanti kita tidak akan menemukan lagi Indonesia sebagai entitas sebuah bangsa dan budaya kecuali dalam buku sejarah. Tentu kita tidak menginginkan itu. Kita ingin Indonesia hidup seribu tahun lagi, bahkan lebih. Gema Keadilan sebagai wadah berkumpulnya kaum muda, mengajak seluruh kaum muda Indonesia untuk bersatu dan bangkit bersama menuju Indonesia baru. Kami sangat ingin kaum muda Indonesia bertemu lebih intens, berdiskusi mencari solusi bagi negeri, untuk kemudian bergandengan tangan dalam melakukan perubahan.

Setelah seratus tahun lalu semangat kebangkitan digelorakan oleh Budi Oetomo dan organisasi lainnya ketika itu, maka sudah saatnya kaum muda Indonesia meneriakkan kembali semangat kebangkitan itu. Sepuluh tahun reformasi harus diakui belum memberikan dampak yang berarti. Pergantian politisi memang terjadi, namun perubahan perilaku politik belum terjadi. Para pengemban amanah reformasi sama sekali belum mampu menunjukkan keseriusannya mewujudkan cita-cita reformasi. Indonesia yang bebas korupsi dan kolusi belum terjadi, keberpihakan ekonomi untuk rakyat kecil masih belum terealisasi, tatanan dan aktor-aktor birokrasi yang mau melayani masih berupa mimpi.

Maka kaum muda Indonesia, sekali lagi, tidak boleh berhenti untuk menggelorakan semangat kebangkitan. Akhirnya saya ingin mengingatkan apa yang pernah diamanatkan oleh Sukarno pada saat rapat raksasa di lapangan Ikada kepada seluruh pemuda Indonesia. Beliau mengatakan; “Hai orang Indonesia sekarang ini, landjutkanlah perdjoangan kita, landjutkanlah perdjoangan kita jang kita telah djalankan dengan penuh penderitaan; landjutkan, berusahalah, berdjoanglah, peraslah engkau punja tenaga dan keringat, agar supaja negara Republik Indonesia jang berwilajah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke mendjadi negara jang kuat, Republik jang berdaulat, Republik jang disegani dan dihormati oleh seluruh umat manusia didunia ini. Berdjoanglah terus, berichtiarlah terus, bantinglah tulangmu terus, peraslah keringatmu terus, agar supaja bangsa Indonesia ini hidup di dalam kebahagiaan, tidak hidup kekurangan, tidak hidup tertindas, tidak hidup dalam kemudaratan, melainkan hidup sebagai kita tjita-tjitakan dari djaman dahulu, hidup di dalam keadaan gemah-ripah loh-djinawi, tata-tentrem karta rahardja.

Sumber_http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=334144&kat_id=16