Bdikar Anumtiko Ling Kricas


Bdikar Anumtiko Ling Kricas, bukan sebuah nama tanpa arti atau serangkaian kata yang tak bermakna, Bdikar adalah penyebutan dalam Bahasa Rejang bagi seseorang yang mempunyai kekuatan batin dan darah juang yang mengutamakan keselamatan rakyat ‘PENDEKAR’ demikian jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Anumtiko adalah Gelar Bangsawan Rejang secara filosopis melindungi empat penjuru pintu dan melindungi rakyatnya di waktu-waktu yang dipercayai bisa membawa bencana bagi rakyatnya, Ling diambil dari singkatan dari Lingkaran dalam bahasa Indonesia sedangkan Kricas adalah penyebutan bagi orang Rejang agresif, lincah dan pintar. Baca lebih lanjut

Pelangaran HAM dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat


Ditinjau dari persfektif sejarah instrumen hak azasi manusia secara umum adalah pengakuan yuridis terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas antropologis. Pengakuan negara tentang eksistensi, indentitas budaya dan hak tentang masyarakat adat di dalam hukum nasional secara konstitusional di akui dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, meskipun dikaitkan dengan empat syarat; sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, zaman dan peradaban, sesuai dengan prinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di atur dalam undang-undang. Baca lebih lanjut

Patang Setumang


Oleh Erwin S Basrin

Patang setumang adalah pilosofi dalam sistem peradaban Rejang dalam mengaplikasi sistem komunal yang lebih besar atau sistem pertemanan yang lebih kecil, Patang dalam bahasan Rejang adalah larangan dengan beberapa konsekwensi ketika dilanggar, Setumang adalah berpisah, berpisah ini diterjemahkan secara holistik yang mencakup beberapa dimensi kehdupan dengan berbagai tahapan generasi.

Dalam sehari-hari pepatah ‘pet samo nuwang, mis samo muk’ adalah bagian turunan dari aplikasi Patang Setumang. Jika dilihat lebih jauh dalam sejarah Rejang Patang Setumang ini hampir sama tuanya dengan peradaban Rejang itu sendiri, Dari sistem komunal yang paternalistik, genelogis dan kepercayaan-kepercayaan lokal di Rejang banyak yang mengajari dan menjelaskan kesepakatan adat mengacu pada Patang Setumang, Kesepakatan adat antar 4 Ajai di Lebong Atas adalah awal yang mengclearkan sistem ini dalam bentuk kesepakatan tertulis dalam sejarah turun temurun dikenal dengan prosesi pemotongan Kerbau yang tanduknya diukir, jantung dan hatinya dimakan sebagai simbol kesepakatan tersebut jadi darah dan daging yang akan diturunkan ke generasi berikutnya tentunya melalui perkawinan yang eksogami, tujuannya adalah untuk menyebarkan ajaran Patang Setumang ini lebih luas.

Periode berikutnya dari Aplikasi Patang Setumang adalah kesepakatan yang dilakukan di Gua Kazam Lebong Atas yang lebih rigit menjelaskan bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan yang akan di sepakati oleh masinh-masinh komunitas Rejang di manapun berada, kesepakatan yang dilakukan ini antara lain disepakati So Samo Kamo Bamo…… sebuah bahasa penyederhanaan dari Patang Setumang, turunan-turunan bahasa Patang Setumang ini kemudian dalam komunitas yang lebih kecil seperti topos tunun puweng kutai donok tunun pelbeak adalah bentuk bahasa dan kesepakatan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh warga komunitasnya terutama di kampung-kampung.

Apakah kemudian Patang Setumang ini dalam kontek lebih besar berdampak pada sistem pembangunan komunitas maupun pada pembangunan nurani .? Lebong yang dikenal sebagai pusat dan tempat asal usul suku Rejang dalam sistem Administrasi pemerintahan mengunakan simbol Patang Setumang, tentunya ini membawa konsekwensi yang sangat besar bagi generasi yang saat ini mengunakan paslsafah ini maupun bagi generasi berikutnya , apakah Patang Setumang ini bisa diterjemahkan dalam sistem berkehidupan maupun relasi antar mereka dalam mengkonsolidasi kembagi komunitas-komunitas yang semakin tersebar dan mulai dirasuki globalisasi yang mendistori arti sistem lokal ini.

Dalam perjalanannya Patang Setumang ini hanya sebatas Slogan, namun nilai-nilai yang ada dalam Patang Setumang di tinggalkan dan ini pasti akan berdampak pada komunitas dan generasi berikutnya. Pengingkaran Sistem Patang Setumang ini karena deklarasinya ada tahapan yang terlupakan, misalnya apakah ini lahir dari kesepakatan adat atau memang lahir atas kepentingan politik yang jauh sekali dari nilai-nilai lokal yang mistik. Di Lebong saja sudah mulai mengakumulasi kekuasaan, modal dan penguasaan terhadap tanah-tanah sebagai alat produksi warga komunitas dan ini berakibat adanya ketimpangan sosial, budaya dan modal sehinga yang tampak adalah penguasa di satu sisi dan rakyat yang di tindas di sisi lain dan proses ini jauh sekali dari nilai-nilai Patang Setumang.

Akibat dari distosi pemahaman Patang Setumang dan Aplikasinya akan ada konsewensi secara psikologis misalnya masyarakat Rejang ‘patang merajuk, amen merajuk patang belek, patang mengiak amen mengiak munuak tun’ ini adalah ungkapan ketika terakumulasinya dari akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Patang Setumang, ada banyak pelajaran sebagai gejalah akan terjadinya dampak psikologis tersebut tanda-tanda alam dengan gagalnya panen, munculnya binatang liar di tengah-tengah pemukiman penduduk, dan stigma terhadap kelompok dan perorangan.

Tentunya bagi pegiat dan warga komunitas yang masih memegang teguh sistem lokal yang ada mari Patang Setumang ini kita jadikan sebagai proses konsolidasi ditengah merosotnya eksistensi komunitas Rejang dalam berbagai struktur kemasyarakatan, sistem budaya, sosial dan relasi dengan komunitas yang lebih besar.

Erwin S Basrin adalah Tuntopos

Baca lebih lanjut

Jelajah Alam Komunitas (JEJAK): 1


Kebun Desa: Manfaat atau Mudarat…?

Oleh Erwin S Basrin

Juni 9 2008, agenda yang sudah direncankan dengan Team Riset AKAR Foundation adalah melakukan diskusi-diskusi dan kunjungan lapangan di Kabupaten Mukomuko untuk melihat lebih jauh dampak dan manfaat perkebunan sawit terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat baik masyarakat sekitar maupun masyarakat yang menjadi buruh di beberapa perkebunan swasta. Dalam perlajalan Bengkulu-Mukomuko ada banyak hal yang mengelitik ketika melihat penomena di sepanjang jalan ‘sepertinya negara ini numpang buat jalan di dalam perkebunan, dan bisa saja kita tak akan sampai di Mukomuko jika pihak perkebunan melarang kita lewat’ celoteh Hadiyanto (Deputi Direktur) AKAR Foundation, yang juga ikut dalam perjalanan ini melihat banyaknya perkebunan sawit di sisi kiri kanan jalan.

Jika dilihat peta wilayah Administratif Kabupaten Mukomuko, hampir mencapai 60% dari luas wilayah tersebut adalah wilayah yang oleh Pemerintah ‘digadai’ dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) kepada pihak swasta umumnya diperuntukan untuk perkebunan Besar Sawit dan Karet, data dari Perkebunan Propinsi Bengkulu pada tahun 2007 saja penerimaan dari perkebunan skala besar ini mencapai Rp. 1.033.685.900.000, jumlah ini merupakan penerimaan atas pajak dan beberapa distribusi, bayangkan berapa jumlah yang diterima oleh masing-masing perkebunan besar tersebut.?

Di Kabupaten Mukomuko PT Agro Muko adalah perusahaan perkebunan yang paling besar dan hampir tersebar di masing-masing kecamatan di lingkup Kabupaten Mukomuko, Desa kami telah dikepung oleh Perkebunan Sawit, Jelas Asra (28 th) Sekdes Desa air Berau, ‘coba bayangkan di Utara Desa kami ada perkebunan PT DDP, Barat Agrisinal, Utara PT Agro Muko dan Selatan DDP’, sebagain besar warga Desa Air Berau ini adalah buruh perkebunan, dan sebagain besar mencoba ‘mencaplok’ wilayah yang berada di dalam kawasan perkebunan dan ada yang nekat membuka lahan HPT Air Ipuh 1 demi mempertahankan hidup, ditambah Pak Asra yang juga sehari-hari sebagai uztad ini.

Di Desa Air Berau terdapat juga Perkebunan Desa yang dikelola oleh masyarakat desa bersangkutan tentunya dengan pembagian masing-masing 50% untuk masyarakar, 40% biaya perawatan dan pemeliharaan kebun dan 10 % untuk Perusahaan. Sejauh ini belum ada manfaat secara langsung atas kehadiran perkebunan besar tersebut kepada masyarakat yang berada di sekitar perkebunan, dan ini membantah argumen klasik yang sering digunakan oleh pemerintah bahwa investor akan membawa manfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Penulis menjadi ingat apa yang dikatakan oleh Wakil Kepala BAPEDA Propinsi Bengkulu di suatu kegiatan, dia menyatakan bahwa perkebunan sawit tidak bagus untuk jangka panjang jika berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, tapi anehnya ada program 1 juta pohon sawit Gubernur Bengkulu dan banyak keanehan lainnya yang membuka peluang bagi kapital mengimplementasi ideologinya meskipun terjadi banyak pelangaran seperti deforestasi lingkungan, pelangaran HAM dan perampasan hak atas tanah masyarakat tentunya dengan dalil percepatan pembangunan.

Sementara hasil diskusi dengan beberapa perengkat Desa yang dimana desanya dibangun juga Kebun Desa, cerita menarik juga hasil diskusi dengan pengelola Kebun Desa di Sungai Ipuh Selagan Raya (11-Juli 2008) bahwa telah terjadi kebohongan model kapital terhadap masyarakat, bayangkan di Desa ini terdapat Kebun Sawit Desa yang biasanya di kenal dengan Kebun Kas Desa seluas 15 Ha, dari hitungan pihak Investor PT Agro Muko, ongkos tanam sampai produksi menghabiskan dana sebesar Rp. 150 juta/ha, artinya untuk 15 Ha maka akan menghabiskan dana sebesar Rp. 2.250.000.000. Seluruh ongkos ini akan dibebankan menjadi utang masyarakat ke pada pihak investor yang proses pembayarannya dicicil sebanyak 15% dari hasil tiap-tiap penen.

Jika dilihat lebih jauh, terutama pada managemen yang disepakati bahwa semua kebutuhan yang dibutuhkan dalam pembangunan perkebunan tersebut akan di fasilitasi dan dikerjakan oleh pihak ke 3 atau Investor, masyarakat yang dalah hal ini adalah pemilik sah kebun melalui panitian desa hanya bertindak pada proses assistensi kebutuhan yang akan dikeluarkan, menariknya juga bahwa sertivikat milik atas tanah desa ini di pegang oleh pihak ke 3, kesan rekayasa dengan sistem pinjaman, pinjaman ini adalah bahasa halus dari Utang.

Dari menagemen tersebut dengan angsuran 15 % maka sampai batas produksi masyarakat belum akan mampu untuk melunasi pinjaman tersebut, artinya apakah ini kemudian adalah strategi bagi agen kapital dalam menjerat masyarakat sehingga akan terjadi pengalihan hak milik atas tanah atau malah ini aoakan menjadi beban yang nantinya akan di bayar dengan tanah yang lain.?

Jika dilihat motif yang dikembangkan saat ini ketika masyarakat mulai sadar bahwa sistem pekebunanan besar tidak banyak membantu dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, benar apa yang dikatan Kepala Desa Talang Buai ketika di temui di Kediamannya yang hancur akibat gempa, menyatakan bahwa sampai saat ini yang diterima oleh masyarakat atas perkebunan besar adalah kesengsaraan, dia mencontohkan di Desa Tetangganya Desa Lubuk Saung, untuk menjadi kuli atau buruh harianpun masyarakat susah pada hal dulunya di sana adalah tanah mereka yang dijual secara paksa. Masyarakat saya relatif aman, sambung Pak Kades karena kami tidak mau menjual tanah kami ke pihak perkebunan, kita sadar bahwa kebutuahn akan tanah di masa mendatang semakin tinggi. Komitmen yang menarik juga di sampaikan oleh Sekretaris Desa Sungai Ipuh (11-Juli-2008) kepada team Akan di Sekretariat Genesis Sungai Ipuh, jangan sekali-kali memberi peluang kepada pihak perkebunan untuk menancapkan kukunya di wilayah kita, ungkap Pak Sekdes karena sekali mereka menancapkan kukunya maka kecenderungan mereka akan seperti Belanda mintak tanah, masyarakat akan dibujuk untuk menjual dan melimpahkan tanah mereka ke pihak perkebunan tentunya dengan mengunakan berbagai trik dan tipu musihat, lanjut beliau.

Jelajah Alam Komunitas (JEJAK): 2


 

Sungai Ipuh, AKAR 2008

Catatan Perjalanan di Sungai Ipuh, Mukomuko

Oleh Erwin S Basrin

Perjalanan yang panjang dan melelahkan dari Kota Bengkulu akhirnya kami sampai di Desa Sungai Ipuh, memasuki Desa ini, di kiri kanan jalan di pagari tumbuhan sawit yang sebagian besar adalah milik Perkebunan Swasta PT Agro Muko, tetapi ada sebagaian kecil masyarakat yang juga memiliki kebun sawit. Sebelum Sampai di Desa Sungai Ipuh kita akan lewat jembatan gantung yang melintasi Sungai Selagan Jelas Berlian. Ada nuansa damai ketika kami memasuki Desa ini, keramahan penduduk dan tidak ada kecurigaan terhadap para pendatang, kami relatif Baca lebih lanjut

Aliansi Buruh Lingkungan


Aliansi kaum proletar dengan gerakan lingkungan hidup/konservasi alam untuk menyelamatkan manusia dan bumi (Tjuan).
Almarhum Judi Bari adalah salah satu aktivis “Earth First” yang merupakan sebuah organisasi konservasi alam yang sangat radikal. Judi adalah termasuk orang yang pertama-tama menjembatani komunikasi antara aktivis gerakan lingkungan hidup dan buruh perhutanan. Sewaktu Judi dan Earth First pertama-tama berkampanye untuk menghentikan penebangan hutan di California Utara, dia dan aktivis-aktivis lainnya dimusuhi oleh para pekerja perhutanan yang bekerja untuk sebuah perusahaan perkayuan raksasa. Dia dengan berhasil mendidik pekerja hutan di Amerika Utara mengenai pentingnya perlindungan hutan sebagai jaminan pekerjaan bagi mereka di masa depan dan lebih penting lagi sebagai penopang kehidupan umat manusia. Judi juga menjelaskan kepada pekerja-pekerja hutan tersebut tentang bagaimana pelecehan kaum proletar dan pengrusakan bumi berjalan seiring dalam sistem kapitalisme. Dengan kampanye konservasinya, Judi juga ikut berkampanye dengan pekerja hutan
menuntut perbaikan kondisi kerja mereka. Dengan kehebatannya berkomunikasi, Judi mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan ideologi para pekerja perhutanan tersebut. Karena pengaruhnya, Judi dianggap berbahaya oleh perusahaan-perusaha

an perhutanan besar. Dia hampir saja meninggal ketika bom yang ditanam di dalam mobilnya meledak. Percobaan pembunuhan terhadap Judi dicuragai dilakukan oleh agen-agen FBI dan banyak bukti yang mendukung kecurigaan tersebut (ini adalah karena Judi merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar dan bagi kapitalisme). Perjuangan gigih Judi untuk menyelamatkan bumi dan memperbaiki kondisi kerja buruh berakhir ketika kanker payudara yang dideritanya selama bertahun-tahun merengut nyawanya.

Secara umum banyak kaum buruh yang anti aktivis gerakan lingkungan hidup. Alasannya simpel: konservasi alam tidak sejalan dengan pembukaan lapangan pekerjaan, kepentingan konservasi alam dapat melenyapkan/mengurangi pekerjaan. Tentu saja kalau dilihat secara sepintas, alasan demikian cukup masuk akal. Contohnya, usaha perhutanan; kalau ada aktivis konservasi alam yang melarang penebangan hutan atau ingin menguramgi luas hutan yang boleh ditebang, banyak/sebagian pekerja hutan akan kehilangan pekerjaan. Apalagi, bos-bos pemotong kayu itu akan menghasut para pekerja dengan alasan yang sama (dan menyuruh pemotong kayu untuk memusuhi aktivis lingkungan hidup).

Peneliti-peneliti di Amerika telah membuktikan bahwa peningkatan jumlah produksi dari perhutanan tidak diringi peningkatan jumlah pekerjaan yang terbuka di sektor itu, malahan ada penurunan jumlah pekerjaan dalam perhutanan. Pengusaha hutan kaum kapitalis telah membuat usahanya lebih menguntungkan dengan pemakaian pekerja dalam jumlah yang kecil -memakai mesin-mesin untuk melakukan pekerjaan dan memperburuk kondisi kerja bagi pekerja-pekerja yang masih dipakai (contohnya dengan menambah jam kerja, merubah struktur upah, melalaikan kewajiban dalam pencegahan kecelakaan dalam kerja). Ini membuktikan bahwa jumlah hutan yang ditebang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jumlah pekerjaan yang ada. Jumlah pekerjaan yang ada bukanlah kesimpulan matematik semata-mata tetapi dipengaruhi oleh ide-ide kaum kapitalis untuk meningkatkan keuntungan mereka.

Kekayaan alam, contohnya pohon di hutan, merupakan modal yang harus dipelihara dan tidak boleh dipotong tanpa diskriminasi. Kalau hutan (modal) digundulkan tanpa perhitungan, cepat atau lambat modal itu akan lenyap. Modal haruslah dikembangkan bukan dihabiskan. Kalau modal itu habis (Pohon di hutan habis dipotong), maka usaha akan bangkrut, yang artinya para buruh hutan itu akan menganggur.

Tetapi apa yang diperbuat oleh perusahaan perhutanan raksasa adalah memperlakukan hutan (modal) sebagai laba. Perusahan ini tidak berkepentingan untuk memelihara hutan itu supaya bisa terus produktif. Kalau mereka sudah menggunduli total sebuah hutan dan mengeruk keuntungan, mereka akan angkat kaki dan mencari hutan baru untuk digundulakn lagi. Dengan sistem perhutanan yang non diskriminasi, seperti yang dipraktekan oleh perusahaan perhutanan raksasa transnasional, buruh cepat atau lambat akan kehilangan pekerjaan. Bukan saja mereka akan kehilangan pekerjaan, karena modal sudah habis (hutan sudah lenyap), kesempatan bagi mereka untuk bekerja di masa depan juga menjadi sangat kecil.

Di beberapa negara, contohnya di Australia dan Amerika, peneliti telah membuktikan bahwa perhutanan skala kecil (yang biasanya dimiliki oleh penduduk setempat) biasanya lebih efisien daripada perhutanan skala besar (misalnya yang dimiliki oleh perusahaan transnasional) -artinya, dari luas hutan yang sama (di daerah dan jenis hutan yang sama), perusahaan skala kecil bisa memproduksi lebih banyak jumlah kayu yang bisa dipasarkan karena sedikit sekali hasil penebangan yang dibuang/dibakar. Penduduk setempat yang mengoperasikan perhutanan skala kecil sadar bahwa hidup mereka sangat tergantung dengan pemeliharaan hutan (yang merupakan midal) -bahwa kalau hutan sudah habis digunduli, mereka akan kehilangan mata pencharian. Tidak seperti perusahaan transnasional mereka tidak dapat dengan mudah hengkang, mencari hutan lain untuk dieksploitasi, karena terbatas dengan dana.

Dalam operasinya, usaha yang dijalankan oleh penduduk lokal lebih berwawasan lingkungan dan dapat lebih menjamin lapangan pekerjaan di masa depan. Implikasinya adalah bahwa perlindungan kekayan alam adalah jaminan pekerjaan untuk sekarang dan di masa depan. Operasi yang mempunyai wawasan lingkungan ini hanya akan terjadi kalau perhutanan dioperasikan oleh kolektif-kolektif pekerja lokal, yang sadar bahwa hidup mereka tergantung dengan manajemen hutan yang baik.

Selain itu, kesadaran tentang pentingnya konservasi alam juga dapat menjadi pemicu untuk membuka lapangan kerja yang ëhijauí yang belum ditelusuri, umpamanya industri eko-turisme.

Kesimpulan dari diskusi ini adalah, bahwa perlindungan alam konsisten dengan:

* perlindungan pekerjaan dan kadang-kadang dapat membantu membuka lapangan pekerjaan. Pekerjaan yang ada juga lebih permanen sifatnya.
* sistem produksi (dan ekonomi) yang efisien.
* peningkatan kesejahteraan buruh, misalnya dengan kontrol kekayaan alam oleh penduduk lokal.

Politik Ekologi Sosial


oleh: Graham Baugh

Terjemahan ini petikan dari The Politics of Social Ecology, salah satu esai yang dimuat dalam kumpulan Renewing the Earth, The Promise of Social Ecology. Ini kumpulan yang merayakan karya Murray Bookchin.

Satu pemikiran sentral ekologi sosial adalah bahwa dominasi manusia atas alam berakar dari dominasi manusia yang satu terhadap manusia lainnya. Gagasan bahwa masyarakat harus ditataulang sesuai prinsip-prinsip ekologis – kesatuan dalam keragaman, spontanitas dan mutual aid – tidaklah berdasarkan analogi gampangan antara masyarakat dan alam. Melainkan didasarkan atas gagasan bahwa relasi antar mahluk hidup, membentuk dan menentukan relasi mereka dengan alam. Penghapusan dominasi manusia terhadap alam, memerlukan penghapusan dominasi di dalam masyarakat manusia.

Ekologi sosial menuntut penghapusan segala bentuk hierarki dan dominasi. Pertanyaan politis yang muncul kemudian adalah, apakah hal itu berarti penolakan total terhadap politik atau apakah masih memungkinkan sebuah politik tanpa hierarki dan dominasi.

Murray Bookchin tampil paling jelas menyuarakan visi masyarakat ekologis yang menghapus hierarki dan dominasi. Dalam prosesnya, ia mulai dengan membedakan antara masyarakat, politik dan negara, dengan cara tertentu, sehingga memungkinkan menggapai wilayah politik yang berjarak, yang berbeda dengan masyarakat dan negara. Misalnya, orang bisa menghapus negara tanpa harus menghapus bentuk-bentuk politik. Bentuk politik yang diperjuangkan Bookchin, yang dinilainya paling cocok dengan masyarakat ekologis, bolehlah kita sebut sebagai‚ demokrasi swa-kelola’. Elemen yang terpentingnya adalah kedirian yang mengelola demokrasi, sebuah publik otentik yang terdiri dari sekumpulan diri, kelompok-kelompok afinitas yang akan membentuk ‚tisue sel’ masyarakat tertentu dan tindakan-tindakan politis dari aksi langsung dan demokrasi langsung.

Demokrasi swa-kelola punya tujuan khusus. Yakni agar setiap anggota masyarakatnya, memiliki kemampuan kontrol efektif terhadap kehidupan dirinya masing-masing. Ini berdasarkan pada asumsi bahwa setiap orang mampu dan kompeten melakukan kontrol-kontrol tertentu. Untuk mencapai kontrol ini, yang diperlukan adalah menghapus semua konsentrasi kekuasaan ekonomi dan politis, sehingga kekuasaan pengambilan keputusan terdistribusi secara setara meliputi keseluruhan masyarakat. Bentuk-bentuk kontrol yang dimiliki individu kelak, tidak akan berarti kontrol terhadap yang lain, melainkan kontrol dengan mereka di dalam dewan-dewan publik hasil demokrasi langsung. Soal kontrol ini juga jangan dikacaukan dengan konsepsi instrumental tentang kontrol terhadap sesuatu, sebagai obyek atau alat untuk mewujudkan kepentingan seseorang. Konsep yang belakangan ini mengarah ke obyektifikasi dan dominasi dari mereka yang difungsikan sebagai alat. Karena itulah mungkin akan lebih
baik berbicara tentang ‚partisipasi setara dalam proses politik’ ketimbang ‚kontrol individual’.

Partisipasi setara, digabungkan dengan organisasi non-hierarkis, menawarkan basis untuk demokrasi swa-kelola tanpa spesialisasi politis yang, dengan struktur dasarnya, memang diniatkan untuk menjaga berkembangbiaknya dominasi politik dan ketimpangan kekuasaan. Tapi demokrasi swa-kelola tidak bisa ditangkap dalam pengertian institusional atau istilah-istilah struktural yang sepenuhnya murni. Seperti juga bentuk-bentuk organisasi politis lainnya, ia juga mengandaikan konsepsi-konsepsi tertentu tentang masyarakat. Partisipasi setara itu sendiri membutuhkan kesetaraan sosial. Tapinya juga bukan kesetaraan dalam arti setimbang. Melainkan, dalam istilah Bookchin, kesetaraan substantif yang digambarkannya sebagai ‚kesetaraan dari ketimpangan’. Untuk yakin bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang sama — bukan sekedar sebuah kesempatan yang sama — untuk turut serta dalam manajemen urusan-urusan sosial, dibutuhkan tindakan pengimbangan bagi orang-orang
yang sebelumnya tidak punya kemampuan untuk itu. Dengan demikian mereka bisa turut serta dalam kehidupan sosial pada tingkatan yang sama dengan yang lain. Selain memperlakukan semua orang secara sama, orang juga diperlakukan dengan cara yang paling sesuai dengan situasi mereka.

Betapapun, hal ini tidak berarti diterimanya relasi timpang yang inheren dalam status dan kekuasaan. Relasi dominan yang didasarkan pada kelas, seks atau ras tidak sesuai dengan konsepsi demokratis kehidupan sosial. Yang begituan tidak bisa dialihkan atau diimbangi dengan sesuatu, tapi harus dihapuskan. Guna memungkinkan setiap orang turut serta dalam urusan-urusan sosial pada tingkatan yang setara, dibutuhkan bukan saja tindakan menyamakan kemampuan terlebih dahulu, tapi juga penghapusan dominasi dan ketimpangan kekuasaan dalam relasi interpersonal.

Partisipasi setara, jika mau lebih dari sekedar formalitas doang, juga membutuhkan, secara kasar saja, kompetensi sosial yang setara dalam manajemen kehidupan publik. Dengan kata lain, manajemen-diri punya anggapan awal tentang sesosok diri yang kompeten untuk mengelola masyarakat secara langsung. Sesosok diri yang terbentuk tidak hanya melalui keikutsertaan dalam proses demokratis itu sendiri, tapi juga melalui interaksi dengan yang lain dalam berbagai relasi sosial yang egaliter dan sukarela. Melalui interaksi tertentu inilah seseorang mengembangkan karakter moral, identitas personal dan berbagi nilai-nilai dan keyakinan sehingga memungkinkan orang untuk terlibat dalam wacana rasional dengan yang lain. Kosakata berbagi moral dan nilai-nilai dalam konsep intersubyektif ini menawarkan basis bagi penjadian, secara saling menguntungkan dan dapat dimengerti, keberagaman praktek-prektek sosial dalam kehidupan sehari-hari – misalnya dalam hal janji atau
saling berjanji. Diri yang kompeten secara sosial, dengan demikian, beranggapan awal tentang masyarakat yang disuarakan dengan segenap kekayaannya dan dari situlah ia terus berkembang.

Tanpa hal itu, sosok diri akan terkikis menjadi sosok teralienasi, ego yang berdiri sendirian dan lapuk dimakan erosi, moralitas menjadi sekedar ekspresi selera yang sewenang-wenang dan nalar dikikis statusnya cuma sebagai alat untuk mencapai kesewenangan selera itu. Proses ini lebih diperburuk dengan dihantarkannya setiap elemen pemaksaan atau dominasi ke dalam kehidupan sosial. Bukannya bertindak sesuai dengan nalar mereka masing-masing, orang jadinya malah bertindak di atas dasar bujukan dan ancaman. Nalar akan digunakan untuk memanipulasi dan mendominasi yang lain. Nalar menjadi instrumen kehendak untuk berkuasa ketimbang sebagai perkakas pencerahan dan penyadaran yang saling berbalasan. Jika pengambilan keputusan demokratis menjadi lebih sebagai penjumlahan total selera yang sewenang-wenang dan nalar condong sebagai instrumen ambisi, perkembangan ‚nalar’ publik yang meninggikan subyektivitas individual, yang diciptakan melalui interaksi dengan
yang lain dalam keberagaman situasi dan relasi, menjadi kebutuhan utama yang tak tertolak.

Soal ini membutuhkan transformasi masyarakat yang beranjak mulai dari relasi sosial yang paling dasar terus bergulir ke atas. Di tengah masyarakat kontemporer, tampaknya locus primer pembentukan karakter dan perkembangan kesadaran berada pada relasi keluarga inti. Lantaran ia dibesarkan oleh struktur patriarki, maka ia menawarkan model yang tidak sesuai bagi masyarakat ekologis. Ia menyuntikkan karakter otoriter, menyebarkan kepasrahan terhadap penguasa dan memangkas tumbuh-bebasnya individualitas perempuan. Ia adalah dominasi laki-laki yang dilembagakan dan disucikan oleh Gereja dan Negara.

Kendati kesan bagusnya ia bersifat sukarela, diijinkannya relasi perkawinan, sekali ia diberikan, hanya bisa ditarik kembali lewat ijin Negara dan Gereja. Di dalam relasi perkawinan itu sendiri, di banyak kawasan, perempuan masih tetap tidak bisa melepaskan diri dari relasi seksual, karena perkosaan oleh suami masih diluar kewenangan hukum. Basis kesepakatan perkawinan cenderung sebagai samaran dan mengkacaukan sifat aslinya. Para perempuan di kebanyakan masyarakat, walaupun statusnya berada di bawah para lelaki, toh sering digambarkan sebagai individu yang bebas dan setara dalam relasi yang sukarela. Dalam pertukaran dengan keamanan dan perlindungan yang mengada-ada (yang melahirkan epidemi kekerasan terhadap perempuan dalam relasi keluarga), perempuan memberikan pelayanan seksual, membesarkan anak dan tenaga buruh tak berupah. Bahkan dibawah standar borjuis, itu pun bukan pertukaran yang adil.

Guna menjamin partisipasi setara lelaki dan perempuan dalam kehidupan sosial, sangatlah prinsipil untuk menjamin bahwa relasi antar lelaki dan perempuan benar-benar berada dalam kesepakatan egaliter dan sukarela. Kedua jenis kelamin itu harus bebas berkembang sebagai individu sesuai dengan kebutuhan dan hasrat masing-masing. Keduanya membutuhkan bentuk baru persekutuan intim yang ramah, didalamnya masing-masing mengembangkan kapasitas individualnya untuk bertindak dalam kooperasi dengan yang lainnya dan untuk mengolah penilaian politis dan moral. Asosiasi bentuk baru ini, yang akan membentuk dasar ‚sel tisue’ masyarakat ekologis, akan berupa kelompok-kelompok yang karib, kelompok afinitas.

Kelompok afinitas adalah sebuah asosiasi kecil, non-hierarkis, sukarela dari individu-individu yang saling berbagi tidak hanya impian-impian dan tujuan-tujuan tertentu, melainkan juga ‚kebutuhan untuk mengembangkan relasi sosial libertarian yang baru antar mereka, secara slaing menguntungkan saling belajar, berbagi problem dan mengembangkan ikatan dan aktivitas baru, non-sexist, non-hierarkis ’(1). Kekariban kelompok kecil dan karakter kesukarelaannya, menumbuhkan solidaritas sejati dan pengenalan mutual dari otonomi dan harga diri masing-masing orang. Keterpaksaan biologis dan volunterisme pura-pura dari kontrak perkawinan akan digantikan oleh komitmen sukarela kepada modus organisasi yang non-hierarkis dimana setiap orang menikmati status dan tanggungjawab yang sama. Melalui interaksi kelompok afinitas, orang-orang mengembangkan kepekaan non-hierarkis dan kompetensi sosial dari diri yang terbebaskan bagi sebuah masyarakat swa-kelola.

Kelompok afinitas tidak membentuk sebuah unit yang terisolasi dari masyarakat. Ia berakar dari lokalitas autentik dirinya dan tergabung dengan kelompok-kelompok lain dalam jaringan kerja horisontal secara berkelanjutan, perlahan tapi pasti berkembang merespon tantangan kebutuhan dan kondisi sekitarnya. Akan ada perkembangbiakan ikatan-ikatan sosial yang konstan manakala kombinasi-kombinasi baru dari berbagai kelompok muncul sebagai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan baru. Masing-masing kelompok terdesentralisasi, berada dalam skala manusia dan berdasarkan pada konsensus, serta tetap dapat dimengerti dan responsif terhadap dinamika anggota-anggotanya. Pada tingkatan keorganisasian yang lebih tinggi, koordinasi bisa dicapai melalui pemanfaatan perwakilan-perwakil

an yang selalu bisa ditarik kembali kewenangannya (recallable) dan dengan kekuasaan pengambilan keputusan yang tidak berdiri sendiri. Bookchin menegaskan bahwa dalam jaringan kerja yang berdasarkan
struktur kelompok afinitas, ‘kekuasaan sebenarnya menipis secara beraturan ketimbang meningkat pada setiap lapis koordinasi ke atas’ (2).

Sementara kelompok afinitas menyatakan unit sosial paling mendasar dari masyarakat ekologis, aksi langsung menyatakan tindakan sosial melalui itu individu menegaskan kemampuan mereka untuk mengontrol kehidupan milik mereka sendiri. Aksi langsung bukan sekedar taktik, melainkan ekspresi politis dari kompetensi individu untuk secara langsung terjuan berperan dalam kehidupan sosial dan mengelola urusan-urusan sosial tanpa mediasi, perwakilan atau kontrol dari para birokrat atau politisi profesional. Individu menerapkan aksi langsung sebagai pengganti, ketimbang mempercayakan kepada orang lain untuk bertindak bagi kepentingan dirinya. Tindakan ini meliputi aktivitas-aktivitas dalam skala luas, dari mengorganisasikan kerjasama sampai ke untuk membangkitkan resistensi tanpa kekerasan terhadap kekuasaan atau kewenangan. Struktur kelompok afinitas kerap menawarkan wahana yang cantik bagi terselenggaranya aksi langsung, yang menempatkan komitmen moral di atas
hukum positif. Hal ini tidak berarti sebagai satu-satunya upaya yang terakhir jika cara lain gagal dijalankan. Tawaran itu sekedar jajaran pilihan untuk melakukan sesuatu. Ia memungkinkan warga untuk mengembangkan sentuhan baru rasa percaya diri dan sebagai kesadaran kuasa individual dan kolektif mereka. Didasarkan pada gagasan bahwa seseorang bisa mengembangkan kompetensi sosial dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri hanya melalui latihan, maka ia mengajukan bahwa seluruh anggotanya secara langsung memutuskan masalah-masalah penting yang mereka hadapi. Dalam ruang politik, hal ini menegaskan penerapan demokrasi langsung. Ketimbang memasrahkan diri pada wakil-wakil hasil pemilu, orang-orang dan warga mengolah keputusan-keputusan politik oleh diri mereka sendiri di dewan-dewan umum.

Bagi Bookchin, demokrasi langsung menuntut desentralisasi dan skala manusia, ‚penataan kehidupan kota sebagai bentuk yang dapat dimengerti dari kehidupan publik’, yang mana tidak hanya bentuk-bentuk, struktur dan organisasi sosial yang dilahirkan komunitas itu bisa dimengerti oleh setiap orang, tetapi juga ‚sesungguh-sungguhnya individu-lah ….yang membentuk sosok kewargaan’ (3). Anggota-anggota komunitas bertemu dalam dewan-dewan demokratis secara langsung, bisa memperdebatkan masalah-masalah bersama dan menyusun kebijakan-kebijakan demi tercapainya tujuan-tujuan kolektif. Keturutsertaan dalam proses politik punya dampak edukatif, menciptakan sebuah ‚pembesaran mentalitas’ yang tidak terjerat kepentingan-kepentingan sempit yang tertentu dan menumbuhkan penilaian politis yang autentik. Debat publik dan diskusi membantu mengembangkan konsepsi bersama tentang kebaikan publik yang mengacu kepada kehidupan sosial yang mau ditata dan konflik yang
mau diatasi. Relasi sosial menjadi transparan bagi semua dan menjadi pokok yang berada dibawah kontrol manusia. Melalui komunikasi berhadap-hadapan muka langsung, warga mengembangkan kesadaran diri dan komunal. Setiap orang merasa sebagai bagian sebuah kehadiran fisik, sesosok tubuh politik, di dalamnya ia adalah sepenuhnya anggota aktif. ‚Partisipasi langsung dalam kehidupan sosial dan pengembangan daulat-diri secara mutual memperkuat masing-masing orang untuk membentuk kebajikan dan komitmen kewargaan dari setiap warganya, (4)’ tulis Bookchin.

Keikutsertaan dalam dewan harus terbuka lebar bagi segenap anggota komunitas. Ini membutuhkan lebih dari sekedar tanda diterima formal bagi keanggotaan individual. Setiap orang memerlukan alat, perkakas, yang memadai agar memungkinkan ia berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang luas dan bobot perannya setara dengan yang lainnya. Ini adalah kebutuhan ‚minimal mutlak’ dari jaminan material dan waktu bebas bagi semua. Ada satu kepentingan publik yang penting dalam organisasi produksi dan konsumsi dalam masyarakat ekologis, yang menjamin ‚minimal mutlak’ dan untuk memastikan bahwa teknologi tepat-guna dan metode-metodenya, secara ekologis, digunakan. Hanya untuk alasan inilah, kepemilikan privat alat-alat produksi tidak sesuai bagi masyarakat ekologis. Kewenangan privat seorang boss dan eksploitasi buruh upahan, tidak cocok dengan karakter relasi bebas dan sukarela dari masyarakat swa-kelola. Kendati tempat kerja, melalui dirinya sendiri,
tidak menyatakan sebuah ruang publik yang autentik, ia tetap perlu diorganisasikan sesuai prinsip-prinsip swa-kelola para pekerja.

Kebijakan sosial harus diputuskan oleh semua anggota komunitas di dalam dewan umum. Namun jika penerapan kebijakannya membutuhkan serangkaian tindakan administratif, hal ini bisa dicapai melalui ‚badan administratif terbatas yang berada di bawah aturan rotasi, recall, pembatasan masa jabatan dan, apabila memungkinkan, dipilih melalui penyaringan’ (5). Ini akan menjaga berkembangnya spesialisasi politik dan munculnya birokrasi permanen dengan kepentingannya sendiri dan agenda untuk mencengkeram. Relasi antara komunitas-komunitas dapat didasarkan pada konsepsi anarkis tentang federalisme – sebuah asosiasi yang terus meluas, yang terfederasi secara bebas dari komunitas-komunitas otonom.

Orang bisa menjelaskan sketsa awal dari demokrasi swa-kelola; sedangkan segala detail-detailnya akan memerlukan penerapan dalam praktek melalui individu-individu bebas yang terasosiasi dalam beragam kelompok-kelompok sukarela yang terorganisir secara non-hierarkis. Meskipun demikian, ada beberapa isu umum yang dapat diangkat merujuk ke ajuan Bookchin untuk demokrasi langsung dan relasinya dengan ideal-ideal ekologis sebuah masyarakat tanpa hierarki dan dominasi.

Satu yang terpenting dari pemikiran Bookchin, adalah bahwa memungkinkan untuk menyelenggarakan politik tanpa Negara. Di atas wilayah aktivitas dan relasi sosial sehari-hari, apakah di tempat kerja atau dalam kekariban kelompok afinitas, ada sebuah kebutuhan akan ruang publik yang autentik di mana seluruh anggota komunitas bisa saling bertemu untuk berdebat atau mendiskusikan masalah-masalah, dan untuk memutuskan tindakan-tindakan demi kepentingan umum. Untuk menyatakan bahwa pemerintah bisa digantikan oleh bengkel kerja dan administrasi sederhana, sebagaimana pernah dilakukan Proudhon, menunjukkan sebuah kesalahpahaman tentang peran kerja dalam masyarakat. Tempat kerja hanyalah satu kawasan di dalamnya orang-orang berasosiasi. Kepentingan-kepentingan yang direpresentasikannya terlampau terbatas dan sempit untuk menjangkau kepentingan umum yang melibatkan segenap anggota komunitas.

Begitu juga administrasi : ia tidak lagi sesederhana sebagaimana dibayangkan sosialis abad ke 19 seperti Proudhon. Bahkan badan administratif yang dibatasi bisa membiakkan kepentingan-kepentingannya sendiri dan merebut kontrol atas wilayah-wilayah tertentu kehidupan sosial dari komunitas pada umumnya. Pengawasan institusional, seperti pembatasan masa jabatan dan seleksi melalui penyaringan, amatlah perlu untuk menjaga badan administratif agar ia tidak menghisap sumber kekuasaan sosial lalu berdiri terpisah. Proudhon sendiri menyadari keterbatasan pandangan-pandangan awalnya dan lalu mendukung bentuk demokrasi langsung dan federalisme dalam karya-karyanya yang belakangan (6).

Kepercayaan begitu saja pada spontanitas juga bisa salah tempat. Orang tidak bisa hanya berserah di bawah naungan Tuhan untuk memastikan bahwa kehidupan sosial akan tumbuh seiring garis libertarian. Pada masyarakat tertentu, beberapa orang toh menikmati keuntungan-keuntungan di atas yang lainnya, sesuatu yang terjadi dengan simpel lantaran kebajikan di kondisi sekitar personal tertentu, karena bakat individual yang lebih menonjol dan, terkadang, karena peristiwa-peristiwa kebetulan. Bahkan dalam sebuah masyarakat yang sepenuhnya berdasarkan asosiasi sukarela, asosiasi-asosiasi mungkin tampil menguntungkan bagi segmen tertentu di masyarakat di atas beban segmen lainnya. Manakala tidak ada perangkat instusional yang mengurusi perbedaan keuntungan dan kekuasaan, atau yang menjaga mereka dari disparitas itu sedari awal, konflik sosial terbuka dan pergumulan akan pecah. Jika tidak ada arena bagi artikulasi publik mengenai nilai-nilai dan tujuan-tujuan sosial,
tatanan mungkin tergelar melalui kepatuhan tak terpikirkan kepada kebiasaan sosial dan tradisi, yang tetap tak teruji melalui kesadaran kritis.

Dalam demokrasi swa-kelola, keganjilan-keganjilan takdir digantikan oleh kontrol sosial yang sadar, melalui individu-individu bebas yang sadar dan kompeten secara sosial dan antar mereka saling terasosiasikan. Setiap anggota komunitas punya suara yang sama dalam mengelola urusan-urusan sosial. Relasi sosial tampil transparan di bawah sorotan diskusi dan debat publik. Tebal-gelapnya kebiasaan dan tradisi digantikan oleh artikulasi sadar komunitas dalam dewan yang setiap aturannya dipatuhi. Masyarakat tampil otonom dalam arti mengatur-diri sepenuhnya. Pada saat yang sama ketika warga diikat oleh aturan yang mereka ciptakan, mereka tetap berdiri superior terhadap sekumpulan aturan tersebut. Maksudnya, memungkinkan bagi mereka untuk mengubahnya setiap saat, sepanjang kebutuhan dan kondisi sekitar yang baru memang menuntut itu. Dewan menawarkan sebuah forum untuk ekspresi bagi seluruh kepentingan yang banyak itu, yang berasal dari berbagai anggota komunitas,
dan tidak hanya kepentingan-kepentingan khusus dari kelompok-kelompok tertentu saja – misalnya, kelompok buruh atau lelaki saja. Dengan demikian memungkinkan berkembangnya kepentingan umum yang sejati dan pada akhirnya untuk kemungkinan meninggikan pengertian kepentingan yang bisa menjangkau solidaritas dan komunitas.

Begitu demokrasi swa-kelola menciptakan sebuah wilayah publik yang berbeda dengan yang semata-mata sosial, maka ia menciptakan sebentuk politik yang berbeda dengan Negara. Negara adalah sebuah organisasi hierarkis yang menerapkan kekuasaan dan kewenangan terpusat terhadap segala sesuatu yang ia klaim berada di bawah jurisdiksi atau kewenangannya. Partisipasi setara di bawah Negara modern, jelas mustahil mengingat begitu besar dan kompleksnya Negara. Negara tidak akan hadir tanpa birokrasi permanen dan aparat yang memaksakan tatanan terhadap massa yang tak patuh, yang dijauhkan dari kekuasaan yang real.

Demokrasi swa-kelola, sebaliknya, terdesentralisasi sehingga kehidupan sosial berada dalam skala yang dapat dimengerti. Semua anggota komunitas berpartisipasi setara dalam aturan sosial. Tak seorang pun yang ditendang keluar dari dewan, itulah kursi sejati kekuasaan sosial kolektif. Dewan umum dan bentuk-bentuk lain asosiasi, dari kelompok afinitas sampai tempat kerja, diorganisasikan di atas basis non-hierarkis. Kewenangan tersebar ke seluruh anggota komunitas. Birokrasi dijaga oleh, apabila diperlukan, struktur badan administratif terbatas yang bisa di-recall, dibatasi masa jabatannya dan diseleksi lewat penyaringan. Tidak ada kebutuhan akan aparat yang memaksa, sebab warga berada di bawah aturan yang mereka ciptakan sendiri dan bisa berubah.

Negara, utamanya, adalah sebuah organisasi yang diluar kemauan. Mereka yang menolak kewenangannya dan mengabaikan aturan-aturannya akan dibui atau diasingkan. Guna membangun bentuk politik yang sepenuhnya berbeda dengan Negara, demokrasi swa-kelola harus berada dalam kerangka kesukarelaan. Hanya mereka yang sukarela bersepakat ikut serta dalam dewan yang bisa terikat dalam keputusan-keputusannya. Jurisdiksi atau cakupan kewenangannya tidaklah didasarkan pada geografi atau sekumpulan kekuasaan tertinggi, melainkan di atas pengertian kewajiban yang dia tentukan sendiri. Dengan berasosiasi bebas dengan yang lain untuk maksud pengambilan keputusan kolektif, warga membuat ikatan horisontal tentang kewajiban politik antar mereka sendiri, ketimbang antar mereka dengan kumpulan yang terpisah seperti ‚Negara‘ (7).

Sebentuk pengertian tentang kewajiban yang ditentukan sendiri, amatlah perlu untuk memastikan bahwa demokrasi swa-kelola memang membangun bentuk organisasi politik yang benar-benar mengenyahkan dominasi. Ia mendasarkan diri pada gagasan bahwa pilihan demokratis haruslah analog dengan tindakan sosial memberi janji. Sebuah pilihan adalah tindakan publik untuk berkomitmen, dengan itu seseorang mengikatkan perilaku di masa selanjutnya. Penerapannya mengandaikan kompetensi sosial untuk memberikan penilaian politik, seperti halnya juga sebuah janji yang mengandaikan kemampuan untuk membuat penilaian moral. Setiap individu harus memutuskan apakah dia sebaiknya meneguhkan diri pada sekumpulan aturan di masa selanjutnya. Dengan demikian, mengeluarkan sebuah janji dan memilih demokrasi langsung mengandaikan – dan bukannya mengabaikan — adanya otonomi individu, kemampuan bernalar secara kritis dan bebas memilih tindakan-tindakannya sendiri.

Referensi

Graham Baugh, filosof politik yang menulis tentang teori anarkis. Esai-esai dan kajiannya terbit di Telos, Our Generation dan jurnal-jurnal lainnya.

[1] Murray Bookchin, Toward An Ecological Society (Montreal: Black Rose Books, 1980), hal. 48. Esai Bookchin dalam kumpulan ini bagusnya dibaca sepenuhnya. Ringkasan pendek yang diajukan di sini tidaklah bisa digunakan untuk menilai pandangan-pandangannya.
[2] Ibid., hal. 49
[3] Ibid., hal. 187-188
[4] Ibid., hal. 238
[5] Ibid., hal 216
[6] Lihat, misalnya, Pierre-Joseph Proudhon, The Principle of Federation, terj. R. Vernon (Toronto: University of Toronto Press, 1979)
[7] Diskusi lanjutan tentang kewajiban yang ditentukan sendiri, diturunkan dari Carole Pateman, The Problem of Political Obligation (London: John Willey & Sons, 1979)

Bengkulu dan Perubahan


Erwin S Basrin

Tema perubahan menjadi sesuatu yang menarik sebagai bahasa politik dalam berkomunikasi dengan kunstiunte untuk menarik dukungan dan empati masyarakat secara umum, Proses Pemilihan Kepala Daerah hampir di seluruh Indonesia mengusung tema Perumahan walaupun sebagian besar meyederhanakan menjadi bahasa rakyat seperti, sekolah gratis, pendidikan gratis dan bahasa-bahasa politik yang memungkinkan masyarakat tertarik, bahasa-bahasa ini kemudian Baca lebih lanjut

Hikayat Kuli Kontrak


(Lembar Fokus Kompas, 9 Mei 2008, hal:41)

Kisah kuli kontrak perkebunan sawIt dan karet adalah kisah lama tentang eksploitasi tenaga kerja oleh penggusaha. Jika dulu yang mengeksploitasi pihak kolonial Belanda, kini peran itu banyak dilakukan perusahaan negara ataupun swasta (baik dari dalam maupun luar negeri). Beberapa buku menulis soal kisah sedih puluhan ribu buruh perkebunan Sumatra Timur (kini Sumatera Utara), seperti “De Millionen uit Deli” (Jutaan dari Deli) oleh Van de Brand dan Uit Onze Kolonien (Dari Koloni Kita) oleh Van Kol pada tahun 1903. Ada pula cerita Hikayat Kuli Kontrak karya M Zaid dan Berjuta-Juta dari Deli karya Emil Aulia. Baca lebih lanjut

Nasib Petani Kelapa Sawit


Rizal (52) benar-benar bisa tersenyum lega. Petani plasma dari Dusun Teluk Kijing III, Desa Teluk Kijing, Kecamatan, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatra Selatan, ini merasakan lonjakan penghasilan lahan kelapa sawitnya seluas 8 hektar. Harga sawit di sini Rp 1.723 per kilogram. Ini harga tertinggi sejak 21 tahun menanam sawit;’ Baca lebih lanjut

TAN MALAKA (1897-1949)


GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain. Baca lebih lanjut

Solusi Masalah Ahmadiyah


Dr Syamsuddin Arif
Staf Pengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia

“Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu],” tulis Ir Sukarno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung, Jakarta, 1963, halaman 345. Mantan Presiden RI pertama itu tidak keliru dan bukan pula sendirian. Jauh sebelum itu, tokoh pemikir masyhur Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, perdana menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya Baca lebih lanjut

Homoseksual dan Hegemoni Barat


Arif Munandar Riswanto
Sarjana Fikih Islam dan Hukum Positif Universitas Al-Azhar Mesir

Akhir-akhir ini kampanye tentang homoseksual, lesbian, biseksual, dan transeksual mulai secara masif digadang-gadangkan ke negara-negara Muslim. Kampanye tersebut seolah-olah ingin menghadirkan keyakinan bahwa orientasi seksual tersebut adalah normal dan oleh karenanya harus diterima oleh umat Islam. Baca lebih lanjut

Fikih Demonstrasi


Nur Faizin Muhith
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Calon Mufti di Darul Ifta’ Mesir.

Demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (KBBI 1997), baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau pemerintahan. Dia juga biasa disebut dengan istilah unjuk rasa. Ensiklopedi Britannic online memberikan definisi demonstrasi dengan a public display of group feelings toward a person or cause. (tahun 2008). Baca lebih lanjut

Batu Belarik dalam Catatan


Oleh Erwin S Basrin

Batu Belarik adalah salah satu Desa Tua yang masuk ke dalam sistem kelembagaan Marga Bermani Ilir, dan secara Administratif berada di Kecamatan Bermani Ilir Kabupaten Kepahiang untuk mencapai Desa Batu Belarik ini membutuhkan perjalanan selama 1 jam dari Ibu Kota Kabupaten Kepahiang dan 10 Menit dari Ibu Kota Kecamatan Bermani Ilir yang berada di Desa Kaban Agung. Sebagai bagian komunitas Suku Rejang sistem kekerabatan di Batu Belarik masih menganut sistem Patrilinial yang eksogami. Baca lebih lanjut

Sederhana itu Indah; Belajar Memahami Indonesia


 

Sepulang sekolah aku bergegas mengantikan baju seragam pramukaku yang sudah lusuh, hari itu hari sabtu. Dan, tadi disekolah kami belajar tentang pelajaran sejarah. Tepatnya mata Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Setelah seragam sekolahku berganti dengan pakaian “kotor”, pakaian ini pakaian khusus, kotor dan tambalan ada di mana-mana. Baca lebih lanjut

Cerita Sebelum Tidur: Sederhana Itu Ternyata Indah II


Sedang asik-asiknya Bdikar dengan ibunya belajar tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), tiba-tiba listrik mati dan Bdikar sepertinya kegirangan karena lepas dari cengkeraman ibunya, karena setiap belajar, maka volume suara ibunya selalu tinggi dan melengking. Udara semakin panas, karena kipas angin tidak bisa dihidupkan dan kamipun pindah ke teras rumah. Dengan hanya diterangi lilin, kami tidur-tiduran diteras rumah dimana ada sedikit koleksi bunga yang belum lengkap, ada beberapa sansivera, bromelia dan antoriumyang sudah dirawat sejak 3 tahun lalu. Baca lebih lanjut

Cerita Sebelum Tidur: Sederhana itu Ternyata Indah I


Bapak itu dilahirkan disebuah perkampungan, perkampungan itu perkampungan tua dan tua sekali, menurut sejarah katanya perkampungan ini sudah berdiri dan ada sebelum Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, Nama perkampungan itu diambil dari nama batang Tongkat pendiri kampung itu, kanon legendanya dia itu Seorang bapak yang “menjelma” menjadi anak, dia manusia keturunan para dewa yang turun dari Istana Makedum Rajo Diwo, itulah leluhur kalian nak. Baca lebih lanjut